Senin, 26 Januari 2015

Perlukah PMII kembali ke dalam naungan NU?

PMII adalah organisasi yang dilahirkan dari tubuh NU. Dari tinjauan ulang sejarah, para mahasiswa NU pada waktu itu ingin mendirikan suatu organisasi khusus di level mahasiswa karena pada saat itu yang ada hanyalah IPNU yang notabenenya adalah untuk pelajar. Sedangkan mahasiswa sebagai pribadi yang bebas, kritis dan penuh gejolak semangat di rasa tidak bisa berada dalam lingkup IPNU, mereka membutuhkan ruang gerak tersendiri. Akhirnya pada akhir tahun 1955 dibentuklah Ikatan Mahasiswa NU (IMANU) yang diprakarsai oleh beberapa pimpinan pusat dari Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Namun tak lama berselang, PBNU segera membubarkannya karena mempertimbangkan efektifitas kerja dan waktu.
IPNU kemudian mengadakan Konferensi Besar di Kaliurang pada tanggal 14-16 Maret 1960. Dalam konferensi ini dirumuskan pendirian suatu organisasi mahasiswa yang terlepas dari IPNU baik secara struktural maupun administratif yang kemudian dikristalkan dengan nama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan dikukuhkan dalam dokumen lahir yang dibuat di Surabaya. Tepatnya di Taman Pendidikan Khodijah pada tanggal 17 April 1960.
PMII yang pada waktu itu masih terikat dengan NU bergerak dengan politik praktis karena berada di bawah naungan NU. PMII sebagai organisasi mahasiswa tidak bisa bergerak bebas karena harus senantiasa mendukung dan menyokong tindak tanduk NU yang pada waktu itu masih menjadi organisasi politik. Hal itu dianggap merugikan PMII karena membatasi pergerakannya.
Kondisi ini menuntuk PMII untuk mengkaji ulang arah geraknya, khususnya dalam bidang politik praktis. Sehingga pada tanggal 14-16 Juli 1972 PMII mengadakan Musyawarah Besar yang melahirkan deklarasi Independen di Murnajati, Lawang, Jawa Timur, kemudian dikenal dengan “Deklarasi Murnajati”.
Dan kini NU menuntuk PMII untuk kembali manjadi Badan Otonom (Banom) NU dikarenakan NU sudah tidak menjadi organisasi politik lagi sejakmuktamar ke-27 di Situbondo pada tahun 1984, dibawah kepemimpinan K.H Abdurahman Wahid (Gus Dur) NU menyatakan sikap “kembali ke khittah 1926” NU meletakkan organisasi politik dan kembali menjadi organisasi sosial keagamaan.
Sebenarnya tuntutan untuk kembali ke tubuh NU lagi tidak hanya sekali ini dilakukan oleh NU, sebelumnya pada maret 2011 lalu Pengurus Besar NU juga pernah menuntut PMII untuk kembalik lagi ke dalam badan NU. Kini tuntutan itu kembali diajukan pada Sidang Komisi Organisasi Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdatul Ulama (Munas-Konbes NU) pada Sabtu, 1 November 2014 lalu. PBNU dan seluruh perwakilan wilayah NU dari seluruh Indonesia telah sepakat memberikan tenggat waktu kepada PMII hingga menjelang Muktamar NU 2015 nanti. Jika tak ada sikap dari PMII maka PBNU memutuskan akan membuat organisasi kemahasiswaan baru di bawah naungan NU.
Mengapa PMII harus kembali menjadi Banom NU?
            Ada beberpa alasan kuat terkait harus kembalinya PMII menjadi banom NU.
Pertama, alasan PMII untuk melepaskan diri dan mendeklarasikan independen dengan deklarasi Murnajati adalah karena pada waktu itu NU bukanlah organisasi sosial keagamaan namun organisasi politik. Sedangkan sejak tahun 1984 NU sudah memutuskan untuk kembali ke khitta 1926 dan menjadi organisasi sosial keagamaan lagi sehingga alasan PMII keluar dari banom NU karena NU adalah organisasi politik sudah tidak bisa berlaku lagi.
Kedua, PMII dan NU sama-sama memilki komitmen menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di era reformasi ini kebebasan sudah bisa dirasakan oleh semua elemen masyarakat Indonesia. Saat ini bersikap demokratis transformatif adalah pilihan yang benar, memperbaiki sistem dari dalam adalah cara yang harus diambil PMII  untuk mendorong agenda kesejahteraan. Oleh karena itu akan lebih mudah bagi PMII jika kembali ke dalam naungan NU lagi.
Ketiga, Saat ini banyak sekali organisasi baru muncul dengan berbagai slogan dan ideologinya. Tak jarang juga pergerakan organisasi itu mengancam keutuhan NKRI. PMII dan NU yang sudah final mengatakan Pancasila dan NKRI harga mati harus bisa menghalau berbagai ancaman yang menerpa. PMII dan NU yang sama-sama berlandaskan ASWAJA dan sama-sama organisasi besar harus bekerja sama dan menjadi satu untuk tetap memperjuangkan bangsa. Karena jika PMII dan NU berjalan sendiri-sendiri maka kekuatan besar tersebut akan terbelah menjadi dua.
Independensi PMII
            Wacana tentang tuntutan NU untuk menjadikan PMII menjadi Banom masih menuai pro dan kontra. Beberapa alasan tentang patutnya PMII kembali ke dalam tubuh NU sudah dipaparkan dalam penjelasan di atas. Namun ada juga beberapa alasan dari kader-kader PMII yang menolak kembalinya PMII ke dalam tubuh NU.
            Independensi bukan hanya soal lepasnya PMII dari tubuh NU, tapi juga soal kebebasan PMII dalam segala geraknya. PMII tidak bisa berada di bawah naungan NU karena sebagai organisasi mahasiswa yang bebas, PMII akan terkungkung karena di saat menghadapi berbagai permasalahan harus memperhatikan kepentingan induknya. Mahasiswa sebagai insan akademis harus menentukan sikap secara objektif dan tidak bisa subjektif terarah pada NU.
            Dan untuk mengembangkan ideologinya PMII jadi dapat memperjuangkannya sendiri, dengan perubahan AD/ART yang tidak lagi dibatasi secara formal oleh madzab yang empat. PMII dapat lebih leluasa mengembangkan sayap di berbagai perguruan tinggi umum ataupun perguruan tinggi agama karena sifat ke-netralannya.
            Sikap independensi juga bukan berarti PMII keluar dari faham ahlussunah wal jama’ah (Aswaja). Keterpisahan antara PMII dan NU hanya nampak pada organisatoris formal saja. Pada dasarnya kader PMII juga merupakan kader muda NU. Sebab kenyataanya, keterpautan moral, kesamaan background, pada keduanya sulit untuk direnggangkan.
            PMII adalah organisasi kemahasiswaan, mahasiswa adalah insan yang mempunyai cara pandang yang unik dan berbeda. Sehingga tidak mungkin memilik cara pandang yang sama dengan para golongan tua dalam menyikapi suatu masalah. Jika kembali ke NU, pergerakan PMII akan sangat terbatas sehingga tugas utama kader sebagai Agent of Change tak akan terpenuhi secara semestinya. Terutama dalam konteks mengkritisi pemerintah dan isu-isu politik lainnya. Sebab, sebelum mengambil keputusan, PMII harus terlebih dahulu meminta persetujuan dan pendapat para kiyai-kiyai PBNU.
            Melihat dari berbagai aspek pro kontra tersebut. Keputusan untuk kembali atau tidaknya PMII ke dalam badan NU harus di pertimbangkan matang-matang oleh Pengurus Besar PMII dengan persetujuan dan pendapat seluruh kader PMII di Indonesia.
Sandra Damar Siswanti,Ketua Angkatan 2014, Al-Murtadlo. Kader PMII Rayon “Perjuangan” Ibnu Aqil. Malang 26 Januari 2015. 12:37 di Ma’had Sunan Ampel Al-Aly mabna Ummu Salamah lantai 4 kamar 51. Ditemani sunyi yang menuntut dan deru derau rendah riak air di sungai belakang mabna.
Read More..

Jumat, 23 Januari 2015

MEMBACA NU DAN PMII

Sebagaimana diberitakan di NU Online bahwa salah satu rekomendasi dari Musyarawarah Nasional dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (Munas-Konbes NU) yang berlangsung pada 1-2 November 2014 di Jakarta adalah memberikan tenggang waktu kepada Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) untuk kembali ke NU sampai Muktamar NU pada 2015 mendatang.
Hal ini mengundang banyak kalangan untuk kembali membincang PMII haruskah kembali ke NU atau tidak. Dalam menentukan sikap seperti ini tentunya harus melalui diskusi yang matang mengingat PMII sendiri bukanlah organisasi yang kecil melainkan menjadi organisasi mahasiswa terbesar di Indonesia. Hubungan NU dan PMII mempunyai sejarah yang kuat, mengingat juga PMII lahir dari rahim NUdan menjadi besar juga karena NU.
Saat itu, pada kongres ke-5 PMII di Medan tahun 1973 sebagai tindak lanjut dari Musyawaroh Besar II di Murnajati Lawang-Malang, melahirkan Manifesto Independensi PMII. Karena sudah tidak memungkinkan lagi PMII sebagai insan pergerakan berada pada struktur NU, mengingat saat itu NU sendiri terjebak dalam politik praktis sehingga ruang gerak PMII sendiri menjadi terkungkung. Dan ini menjadi kerugian bagi PMII untuk berperan secara bebas dalam memperjuangkan organisasi dan cita-cita perjuangan nasional yang berlandaskan Pancasila sebagaimana tertuang dalam tujuan PMII sendiri.
            Keterikatan PMII dan NU memang kuat, baik secara visi-misi maupun secara historis. Maka dari itu pada kongres PMII ke-10 tahun 1991 di Asrama Haji, Pondok Gede, Jakarta, melahirkan pernyataan Deklarasi Interdepedensi PMII-NU. Meskipun PMII tidak berada dalam struktur NU, tidak kemudian PMII bertindak semena-mena. Secara kultur PMII mempunyai persamaan dalam hal ideologi beragama maupun ideologi bernegara yaitu Ahlussunnah wal Jama’ah dan Pancasila. Di sisi lain juga, kader PMII berlatang belakang keluarga NU dan lahirnya juga dari NU.
            Hingga saat ini, hubungan interdepedensi PMII dan NU tidak mengalami perubahan. Hasil Interdepedensi sudah menjadi keputusan final meskipun dari NU sendiri mengeluarkan maklumat yang menginginkan PMII kembali ke pangkuan NU dengan batas tenggang pada muktamar NU tahun 2015.
            Dalam menyikapi hal ini, sebagaimana saya sebutkan di atas harus melalui diskusi panjang. Dan dalam hal ini, PB PMII sebagai puncuk pimpinan di struktur PMII harus ambil sikap dengan mengumpulkan seluruh kader PMII se-Indonesia terkait membincang haruskan PMII kembali ke pangkuan NU atau tetap Interdepedensi seperti saat ini. Harapannya dapat melahirkan keputusan, kalaupun harus kembali ke pangkuan NU dengan pelbagai pertimbangan dan alasan yang kuat. Begitu juga jika menolak kembali ke pangkuan NU tentunya juga disertai dengan pelbagai pertimbangan dan alasan yang kuat. Sehingga bisa dimengrti oleh seluruh kader PMII di Indonesia.
            Ada analogi menarik dari salah satu senior PMII Kota Malang mas Romdlon yangsaya kutip dari akun facebooknya (Romdlon Muchammad), yaitu:
Namanya mahasiswa, meski punya rumah, punya Bapak ibu, hidupnya sehari hari ya kost. Jika kangen atau bekal habis, atau liburan, ya pulang, minta sangu atau beraktivitas dg bapak ibu dan saudara lainnya. Begitulah PMII, bukan banom NU, sering ngriwuki NU atau Muslimat tapi juga sering mbantu NU dan Muslimat, termasuk penyediaan SDM. PMII sering berkutatria dg Ansor & Fatayat, nongkrongi IPNU-IPPNU. Maka biarlah, tak perlu diultimatum dengan pendirian PMII-P(erjuangan) semisal GMNU - gerakan mahasiswa NU, jika PMII tak mau jadi banom NU. Anggap saja sebagai anak yang kuliahnya masih aktif, tentu masih kost di luar rumah bapak ibunya. Mahasiswa baru balik rumah setelah diwisuda jd sarjana. PMII pasti balik ke rumah idiologinya NU, setelah lulus jd aktifis PMII”.
Di atas rasanya sudah cukup bagus dalam menggambarkan hubungan PMII dan NU. Kader PMII secara individu juga kader NU, kader PMII bisa juga dikatakan sebagai kader muda NU. Tentunya, sudah sepatutnya NU sendiri memberikan ruang khusus untuk kepada PMII untuk berekspresi dan mengeksplorasi gagasannya. Ahmad Baso dalam bukunya (baca: agama NU, hal. 246) mengatakan bahwa tidak mungkin juga dalam menyikapi sesuatu kalangan muda, kalangan tua bahkan kalangan Tanfidziyah NU harus menggunakan cara pandang yang sama dan masing-masing mempunyai cara maupun model yang berbeda. Sama halnya anak PMII yang memprotes pemerintah, lalu mengajak Kyainya juga ikut turun ke jalan bikin demo!. Nah, hal seperti ini tidak mungkin sampai terjadi.
Saya rasa, hubungan interdepedensi PMII dan NUadalah keputusan yang terbaik. Meskipun tidak dalam struktur PMII dan NU, toh, juga mempunyai tujuan yang sama, nilai-nilai perjuangan yang sama dan ideologi yang sama yaitu Ahlussunnah wal Jama’ah. Dan PMII tetap berada dalam poros sebagai insan pergerakan yang selalu kritis, pantang berputus asa dalam situasi dan kondisi apapun. Wallahu A’lam

Ahmad Zainullah
Kader PMII Rayon “Perjuangan Ibnu Aqil”
PC. PMII Kota Malang
Probolinggo, 22 Januari 2015, Jam 22.15 WIB

Read More..

Minggu, 02 Oktober 2011

Halal Bihalal; Menggagas Kantor Rayon Permanen



Tahun ini Rayon ‘Perjuangan’ Ibnu Aqil komisariat UIN Maulana Malik Ibrahim (Maliki) Malang menyelenggarakan halal bihalal tidak seperti biasanya. Halal bihalal yang biasanya diselelenggarakan hanya berbentuk silaturahim kini dikemas dengan reuni akbar. Acara yang diselenggarakan pada tanggal 25 september 2011 lalu yang bertempat di aula pertemuan kota batu berjalan lancar. Sekitar 250 para undangan hadir dalam acara halal bihalal dan reuni akbar tersebut.

Read More..

Selasa, 27 September 2011

Membumikan NDP PMII; Usaha Mempertahankan Pancasila

Dalam perjalanan sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), mahasiswa selalu menjadi “pemeran utama”. Artinya, urgensi atau peranan mahasiswa dalam mewujudkan Negara Kesatuan tidak bisa dihapuskan begitu saja. Termasuk juga dalam peranan mempertahankan keseimbangan atas gejolak yang ada. Mulai dari terbentuknya Negara Republik (baca: proklamasi), mahasiswa menjadi inisiator utama, seperti Soekarno, M. Hatta, dan lain-lain, sampai pada runtuhnya orde baru. Sekali lagi, mahasiswa selalu menjadi “pemeran utama” dalam gerakan perubahan di Indonesia 1.
Read More..

Sabtu, 17 September 2011

Sikap itu...

Setelah menyimak Diantara Bidadari-bidadari
Aku terlelap berabad-abad
Tercebur dikesunyian Ombak-ombak
Bermimpi diselaksa Tengkorak-tengkorak
Berdansa di Hutan Mimpi-mimpi

Barangkali Aku Menunggu Pergulatan
Atau Diam-diam Malah menyongsongnya
Takterpikir Kalah atau Menang
Karena masih di rundung kabut kebekuan

Debur cemas membangunkanku
Bergema diseluruh Ruangan Jiwa
Dan ketika mataku terbika sempurna

Akupun berDo’a
Agar Aku terlahir lagi Dengan
Bermata Buta
Bertelinga Tuli
Bermulut Bisu
Bernafas Dungu

Yang tak Mampu lagi Mengeja huruf dan Sandi-sandi
Yang kau Tebar di segala Penjuru Mata Hati

Semoga Tuhan meloloskan Aku dalam pertarungan menghadapi musuh yang ku ciptakan sendiri.
_____________________
Malang, 26 Maret 2011
Ibn. Rusyd Read More..

Sabtu, 26 Maret 2011

Memahami “Kembali” Agama (Sebuah usaha mencapai cita-cita bersama)

Oleh Abdur Rahim*
“Dan barangsiapa menganut Dîn selain Islam, maka sekali-kali ia tidak akan diterima daripadanya dan ia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Ali Imran 85).
"Sesunggunya agama disisi Allah Adalah Islam".(Ali Imran: 19)


Berbicara masalah agama berarti berbicara tentang masa lalu, sekarang, dan akan datang. Atau dengan kata lain, agama merupakan salah sau faktor penentu sejarah peradaban manusia. Isu tentang agama akan terus dan selalu hangat untuk dibicarakan, mengingat manusia tidak bisa dipisahkan dari agama. Henri Bergson mengatakan "There has never been a society without religion" (tidak ada masyarakat tanpa agama). Dipertegas lagi oleh Raymond Firth yang menyatakan bahwa "Religion is universal in human societies", agama adalah universal dalam masyarakat manusia.
Agama adalah sebuah fenomena yang dekat dalam kehidupan individu dan masyarakat. Demikian dekatnya, sehingga agama menjadi perangkat dalam seluruh ritual kehidupan kita. Begitu juga dengan para ilmuan, mereka tidak penah ketinggalan dalam mengomentari agama. Mulai dari ilmuan saintis hingga ilmuan lainnya, seperti psikolog, sosiolog, politik bahkan seniman. Berbagai perspektif tentang agama pun mulai bermunculan. Mulai dari perspektif yang fundamen-radikal sampai pada perspektif liberal-rasional. Makna agama yang dihasilkan dari cara pandang demikian kemudian menghasilkan karakter (baca: sikap) beragama. Karakter untuk terbuka maupun karakter tertutup terhadap cara pandang lain.

Untuk memenuhi universalitas dari sebuah agama (Islam), perlu kiranya pemahaman yang komprehensif dan dapat mewakili konsepsi universalitas agama menjadi sebuah sikap awal bagi umat beragama (Muslim).

Memahami al-Din (Agama)
Din berasal dari bahasa Arab dan dalam Al-quran disebutkan sebanyak 92 kali. Secara etimologi, din diartikan sebagai “balasan” dan “ketaatan”. Dalam arti balasan, Al-quran menyebutkan kata din dalam surat Al-Fatihah ayat 4, Maliki Yaumiddin (Dialah Pemilik (Raja) Hari Pembalasan). Demikian pula dalam sebuah hadis, din diartikan sebagai ketaatan. Rasulullah Saw bersabda Ad-diinu nashiihah (agama adalah ketaatan). Sedangkan menurut terminologi teologi, din diartikan sebagai sekumpulan keyakinan, hukum, norma yang akan mengantarkan seseorang kepada kebahagiaan manusia, baik di dunia maupun akhirat.
Berdasarkan hal di atas, din mencakup tiga dimensi, yaitu (1) keyakinan (akidah); (2) hukum (syariat); dan (3) norma (akhlak). Ketiga dimensi tersebut dikemas sedemikian rupa sehingga satu sama lainnya saling berkaitan, dan tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Dengan menjalankan din, kebahagiaan, kedamaian, dan ketenangan akan teraih di dunia dan di akhirat.
Seseorang dapat dikatakan mutadayyin (ber-din dengan baik), jika dia dapat melengkapi dirinya dengan tiga dimensi agama tersebut secara proporsional, maka dia pasti berbahagia.
Dalam dimensi keyakinan atau akidah, seseorang harus meyakini dan mengimani beberapa perkara dengan kokoh dan kuat, sehingga keyakinannya tersebut tidak dapat digoyahkan lagi. Keyakinan seperti itu akan diperoleh seseorang dengan argumentasi (dalil aqli) yang dapat dipertahankan. Keyakinan ini pada intinya berkisar kepada Allah dan Hari Akhirat.
Adapun syariat adalah konsekuensi logis dan praktis dari keyakinan. Mengamalkan syariat merupakan representasi dari keyakinan. Sehingga sulit dipercaya jika seseorang mengaku beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, tetapi tidak mengindahkan syariat-Nya. Karena syariat merupakan kewajiban dan larangan yang datang dari-Nya.
Sedangkan akhlak adalah tuntunan akal budi (aqal amali) yang mendorong seseorang untuk mengindahkan norma-norma dan meninggalkan keburukan-keburukan. Seseorang belum bisa dikatakan mutadayyin selagi tidak berakhlak, la diina liman la akhlaqa lahu. Demikian pula, keliru sekali jika seseorang terlalu mementingkan akhlak daripada syariat.
Dari ketiga dimensi din tersebut, akidah menduduki posisi yang paling prinsip dan menentukan. Dalam pengertian bahwa yang menentukan seseorang itu mutadayyin atau tidak adalah akidahnya. Dengan kata lain, yang memisahkan seseorang yang beragama dari yang tidak beragama (ateis) adalah akidahnya. Lebih khusus lagi, bahwa akidahlah yang menjadikan orang itu disebut Muslim, Kristiani, Yahudi atau yang lainnya.
Kaitannya dengan itu, maka –menurut penulis- agama harus difahami tidak hanya sebatas religiusitas (keyakinan), melainkan agama harus defahami sebagai ilmu, moral dan social system dalam berkehidupan.
Pertama, agama sebagai religiusitas adalah ber-akidah dalam beragama. Artinya, sudah menjadi sebuah keharusan bagi seluruh umat beragama. Keharusan yang sesuai dengan “pilihan” untuk beragama. Pemahaman yang seperti ini seharusnya sudah final dan sifatnya sangat privacy bagi setiap manusia. Inilah yang disebut dengan agama mempunyai dimensi esoteric yang “seharusnya” tidak bisa diganggu gugat.
Kedua, agama sebagai ilmu seharusnya menjadi motivasi tersendiri bagi seseorang dalam mencari makna kehidupan (baca: ilmu dan pengetahuan). Artinya, konsepsi seperti ini, juga membuat seseorang menemukan sendiri bekal ataupun jalan untuk mencapai tujuan akhir dalam sebuah kehidupan (surga).
Ketiga, agama sebagai moral dan system sosial. Manusia sebagai masyarakat sosial (zoon politicon) tentunya membutuhkan tata-cara atau mekanisme berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Artinya, manusia membutuhkan perilaku-perilaku yang “disepakati” dalam berkehidupan. Baik kesepakatan yang dihasilkan secara komunal (kelompok) atau global (keseluruhan). Mekanisme berperilaku yang berangkat dari doktrin-doktrin agama maupun dari lingkungan sosial. Pemahaman yang seperti ini kemudian mewakili dimensi eksoterik (syariat-muamalah) dalam sendi-sendi kehidupan. Pemahaman seperti ini –khususnya yang terakhir- yang kemudian membuat seseorang dapat berintraksi dengan sangat terbuka.
Kaitannya dengan cita-cita bangsa adalah bahwa proses mewujudkan “Bhineka Tunggal Ika” dengan mekanisme demokrasi dan pluralisme banyak persoalan yang sampai sekarang belum menemukan titik temu. Artinya, banyak ketidaksepakatan yang muncul karena doktrin agama. Misalnya, ke-alergi-an beberapa umat agama (muslim) terhadap kelompok lain bahkan terhadap agama lain, sehingga menyebabkan kekerasan dan semacamnya yang kemudian menghambaat proses “ke-Bhineka Tunggal Ika-an” tersebut.
Akhirnya, semoga pemahaman yang komprehensif (universal) tidak hanya sebatas pemahaman yang memunculkan kesadaran magis dan kesadaran naïf bagi kita semua, tetapi juga dapat memunculkan kesadaran kritis yang kemudian menjadi sikap dan karakter dalam relasi-interpersonal agar dapat bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama.



*Kader PMII Rayon “Perjuangan” Ibnu Aqil UIN Malang dan Alumni Ponpes Syarifuddin Wonorejo Lumajang
Read More..

Rabu, 29 Desember 2010