Minggu, 31 Oktober 2010

Merawat dan Menindaklanjuti; Pekerjaan tersulit

Oleh : Abdur Rahim 'iDung
Diskusi tentang Gerakan Mahasiswa di Indonesia membuahkan PR besar...
Reformasi 1998 merupakan gerakan besar2an bangsa indonesia yang dipelopori oleh mahasiswa. Gerakan yang berangkat dari keresahan intelektual, keresahan ekonomi, dan keresahan-keresahan lainnya. misalnya, Tentara yang terlalu menguasai dan mendominasi segala lini. pada awalnya tentara (ABRI) bertujuan untuk mengakomodasi masyarakat dan dari Aksi dan Akomodasi, kemudian ke Dominasi tentara dan akhirnya pada tataran Hegemoni. dan lain sebagainya seperti:

kebebasan membentuk dan menjadi anggota organisasi, kebebasan mengeluarkan pendapat, hak memilih, kesempatan menjadi pejabat pemerintah,dsb... Muncullah Reformasi 1998 yang menjadi Sejarah baru Bangsa Indonesia...
akan tetapi, Ada beberapa PR bagi bangsa Indonesia khususnya Mahasiswa pasca Reformasi 1998.
*****
- Involusi Refolusi: gerakan sekedar menurunkan Soeharto...???
- Partai Politik tidak menjalankan Fungsi-fungsinya, yang akhirnya muncul pragmatis-materialis, sehingga masyarakat pun Apatis terhadap Partai Politik.
- matinya cendekiawan...???
- rezim neo-lib mendikte negara.
*****
PR ini sampai hari ini masih belum terjawabkan. Banyak mahasiswa '98 sudah mulai luntur Idealismenya...salah satu faktornya adalah dibenturkan dengan yang namanya "Profesional-Birokratik" dan lain sebagainya... Indealisme yang ada pada masyarakat dan mahasiswa sulit untuk ditebak. pasalanya, idealisme itu (katanya) sudah mulai kalah dengan sistem kapitalisme, dan isme2 yang lain....
*****
Memang ketika berbicara masalah idealisme hari ini bisa dibilang tidak jauh seperti iman...yaziid wa yanqus...
Misalnya, Hari ini Mahasiswa banyak yang berkoar-koar dijalan membela Kaum buruh, dan sebagainya... akan tetapi terkadang suatu saat bisa di cek idealismenya..(kalau memang bisa diukur)... yang awalnya "Ingin Mebenahi Sistem dari Luar sistem", suatu saat akan berkata "Memperbaiki Sistem dari dalam Sistem (Ikut Memainkan sistem)"... iotu sudah lumrah terjadi...
*****
Pertanyaannya Sekarang, Bagaimana merawat dan menindaklanjuti Idealisme yang dulu pernah ada... baik idealisme Intelektual, Politik, dsb...????????????????
Wallahu a'lamu.
Read More..

Senin, 11 Oktober 2010

"Writing" assignment by: Ilham Efendy Aqilians

1.The characteristics of Argument essay
1.Introduction
2.Main point of the case
a.The main argument of USA suing the Cooperative
3.The Court’s decision
4.Various aspects of the case
5.Conclusion
Examples:
Smoking cigarette is hazardous to your health. Several years ago, a united states government study was realize that linked the intake of tar and nicotine, found in cigarettes, with development of cancer in laboratory of animals. The evidence was over whelming that united states government required cigarette manufactures to put warning on the outside of each pocket of cigarettes, which yes, “warning

: the surgeon general has determined that cigarette smoking is hazardous to your health. “ Aside from the most serious and dreaded disease, cancer, cigarette smoking also can aggravate or promote other health problems. For example, smoking can increase the discomfort for people with asthma and emphysema. It can give one a “smoker’s cough” and contribute to bronchitis. Finally, resent studies have shown that cigarette smokers are more susceptible to common cold and flu. Whether you get an insignificant cold or the major killer, cancer, smoking cigarettes is hazardous. Is it worth it?
(L. Smalley and K. Ruetten. Refining composition skill, Second Edition. New York: Macmillan publishing Company. Page 8)

2. The Characteristics Of A Narrative Essay:
1. Plot
2. Character
3. Setting
4. Climax
5. Ending
The narrative essay format
1. It has no restrictions considering in what person is should be written, nevertheless, often it is written from the first person and therefore the “I” sentences are allowed.
2. This type of essay is to make a deep emotional impression on the reader through the technique of using concrete and sensory details as the dominant of the paper.
Example:
A memorable event in my life
I’m supposed to free write for ten minute about memorable event in my life. I don’t know what to write about. Maybe about my brother’s boat accident. We were so scared. We though he was going to down. He was trapped under an overturned bout and didn’t have any air. To breath. But ended all right. He was rescued and only had a broken arm. What else can I write about? Oh! Know. A day I always remember was the day I left my country to come to the united states. That was a sad/happy day. I felt sad and happy at the same time. Maybe I should write about something happy. Our family vacation lust summer was fun. We drove to coast and camped for a week on the beach. Then there was the day the day earthquake happened. Now that was definitely a member event. I will never forget it. I was at home with my older sister little brother.
(Oshima, Alice. Introduction to Academic Writing, Second Edition. Longman: page 25)

3. Writing a characteristics of description essay
• A certain experience
• A special memory
• An interesting place
• One person
• A thing/object
Descriptive essays outline
• Taste
• Smell
• Sight
• Sound
• Touch
Example:
The Stairway
By Toshiki Yamazaki
When I was on two or three years old, I lived in a house that had a strong atmosphere. I don’t remember enything about the house except the stairway. It was dark, squeaking, and quite narrow,. From the bottom of the stairway, it seem like an endless climb to the top. Beyond the darkness at the top of the stairway, there was a middle-aged, elegant lady leaning against the wall. I had to pass her every time I went to my room. For my room was the first room from the stair on the second floor. The lady was beautiful dress with quiet pattern and a tinge of blue, and peaceful eyes stared at me every time I went up the stairs.
(Oshima, Alice. Introduction to Academic Writing, Second Edition. Longman: page 49)


4. Persuasive essay format
The characteristics of the persuasive essay format are:
• A deep preliminary research
• Logical argumentation
• Evidence supported by reliable sources
• Additional necessary facts to convince the reader
• Clear reasoning
• Plausible arguments and facts
Persuasive essay structure:
1. Introduction
• The opening statement
• The thesis/the idea of the essay

2. Body paragraphs
• the point of argument
• the explanation of the argument
• facts/evidence that support the idea/thesis
• a small summary leading to the next argument
Read More..

Selasa, 05 Oktober 2010

Cara Kerja Ilmu Kemanusian

Ilmu-ilmu kemanusiaan adalah ilmu yang mengkaji masalah kemanusiaan seperti masalah: budaya, sosial, politik, ekonomi, yang terdapat pada masyarakat. Ilmu-ilmu kemanusiaan memiliki objek kajian yang diamati secara empiris dan objek itu dianggap kongkret karena masalah kemanusiaan itu memiliki objek yang khusus yaitu manusia atau masyarakat tertentu. Contoh ilmu-ilmu kemanusiaan adalah...

antropologi, ilmu susastra, ilmu arkeologi, ilmu sejarah, ilmu sosial, ilmu ekonomi.
Sifat Ilmu-ilmu Kemanusiaan
Sifat yang paling menonjol pada ilmu-ilmu kemanusiaan adalah objeknya berkaitan dengan manusia yang memiliki tindakan bermakna (meaningfull action). Di dalam tindakan (perilaku) bermakna manusia atau seseorang manghasilkan karya-karya tertantu misalnya karya sastra seperti Romeo dan Juliet karya William Shakespeare dari Inggris, karya seni seperti tari Pendet, lukisan yang termashur yaitu Monalisa karya Michelangelo. Untuk itulah apabila ingin mengkaji ilmu-ilmu kemanusiaan dengan lebih mendalam haruslah digunakan metode yang tepat, agar objektivitas dan kebenaran ilmiahnya dapat terungkap dengan benar dan sahih.
Pendekatan atau Metode Ilmu-ilmu Kemanusiaan
Metode yang sangat mendasar pada ilmu-ilmu kemanusiaan adalah metode pemahaman (methode verstehen). Metode pemahaman digunakan untuk memahami, meyakini tindakan-tindakan manusia ketika ia melakukan suatu karya seni ataupun terlibat dalam peristiwa sejarah, misalnya jatuhnya pemerintahan Orde Baru di Indonesia pada tahun 1998. Di dalam metode pemahaman digunakan metode wawancara mendalam (depth intervieuw), yang bertujuan untuk memahami dengan lebih baik dan mendalam tentang para pelaku budaya yang terlibat, misalnya pada peristiwa sejarah ataupun saat membuat karya seni. Metode yang lain adalah metode deskripsi, yaitu metode yang digunakan oleh para peneliti untuk mencatat, melukiskan dan menggambarkan tentang seluruh sifat dan karakteristik dari objek penelitiannya.
Pada awalnya ilmu-ilmu kemanusiaan hanya menggunakan metode kualitatif, yaitu metode yang bertitik tolak pada nilai-nilai (value) kemanusiaan (nilai moral, nilai budaya, nilai agama, nilai estetis/keindahan, dan sebagainya) dalam menganalisis data penelitiannya. Tetapi dengan perkembangan dan demi kemajuan ilmu itu, maka ilmu-ilmu kemanusiaan di awal abad XX dan sampai saat ini telah menggabungkan metode statistik ke dalam penelitiannya. Sebagai contoh, di dalam penelitian pada psikologi, ilmu sosial, serta ilmu ekonomi, mereka telah menggunakan metode statistik dalam mengolah data penelitiannya.
Read More..

Cara Kerja Ilmu Hayat

Ilmu hayat adalah ilmu pengetahuan yang membahas gejala alam yang bersifat hidup, atau memiliki sifat kehidupan. Sifat ilmu hayat adalah empiris, artinya gejala alam yang dianggap hidup dapat diamati secara indrawi atau faktual, nyata. Contoh pada ilmu hayat adalah...

ilmu tumbuh-tumbuhan, ilmu hewan (zoologi)
Sifat Ilmu Hayat
Ilmu hayat memiliki organ-organ yang dapat tumbuh, mati, berkembang biak. Setiap organ dapat memiliki sel, jaringan yang membentuk suatu sistem yang memiliki nama, fungsi, peran/tugas, kegunaan serta tujuan tertentu. Sebagai suatu sistem yang baik, maka setiap organ itu memiliki daya-daya hidup saling melengkapi, saling menunjang sehingga sistem itu berjalan dengan sempurna.
Pendekatan atau Metode Ilmu-ilmu Hayat
Pertama, metode kausal yang berguna untuk melihat hubungan sebab akibat yang berasal dari hubungan atau interaksi antar organ. Di dalam hubungan kausalitas itu sebenarnya terdapat semacam “informasi” di antara masing-masing organ, sehingga memungkinkan organ itu berproses swakendali atau disebut sebagai proses sibernetik. Proses sibernatik merupakan proses yang dikendalikan oleh adanya informasi umpan balik dari organ-organ yang berjalan secara teratur (mekanistis). Proses umpan balik tersebut diartikan sebagai hubungan timbal balik di antara organisme. Sebagai contoh, daun mangga ketika masih tunas (kecil) berwarna hijau muda, ketika tumbuh menjadi lebih besar berwarna hijau tua, dan ketika daun itu mati berwarna kekuningan dan setelah mengering, maka daun itu gugur. Selama pohon mangga itu masih hidup, maka terulang proses pertumbuhan daun itu. dari tunas daun hingga daun berwarna hijau tua kemudian kekuningan dan proses tersebut disebut sebagai proses sibernetik (proses swakendali), Sementara itu karena adanya asupan informasi masing-masing organisme melalui sel fotografik maka proses itu dapat berjalan dan berlangsung secara teratur dan berkala.
Kedua, metode mekanistis, yaitu metode yang memunculkan adanya keteraturan tentang sistem yang berlaku pada gejala atau daya-daya hidup dari organisme. Metode mekanistis memiliki tujuan tertentu yang disebut sebagai tujuan finalis (tujuan akhir) agar sistem organisme berjalan dengan sempurna.
Ketiga, metode genetik, yaitu metode yang mengkaji tentang penelusuran secara historis bagaimana terjadinya sebuah organ, sel ataupun jaringan tertentu.
Keempat, metode fungsional, yaitu metode yang melihat bahwa masing-masing organisme itu memiliki fungsi tertentu yang memungkinkan sistem organ itu berjalan dengan teratur dan baik.
Read More..

Cara Kerja Ilmu Alam

Ilmu alam adalah ilmu yang membahas tentang gejala-gejala alam (gejala alam yang tidak hidup). Sifat ilmu alam adalah empiris, artinya gejala alam itu dianggap sebagai fenomena yang dapat dibuktikan secara indrawi, dan konkret. Contoh Ilmu-ilmu alam adalah..

geologi, astronomi, hidrologi, ilmu kimia, fisika, meteorologi, geodesi.
Sifat Ilmu Alam
Adanya praanggapan bahwa ada hukum alam, yang dapat dikenakan pada seluruh gejala alam. Sifat hukum alam memiliki ciri kuantitatif, suatu ciri yang melekat pada gejala alam yang muncul di masa lalu maupun di masa yang akan datang. Ciri kuantitatif merujuk pada kenyataan bahwa gejala alam memiliki besaran tertentu dan karenanya dapat dihitung, diukur secara matematis. Selain itu hukum alam memiliki sifat mekanistis, yaitu sifat keteraturan yang melekat pada gejala alam dan sifat keteraturan itu berjalan secara berkala serta memiliki siklus tertentu.
Pendekatan atau Metode Ilmu-ilmu Alam
Pertama, melalui metode observasi atau pengamatan melalui panca indra manusia serta didukung oleh alat tertentu, alat yang dioperasionalkan untuk menunjang pengamatan tersebut. Kedua, metode deskripsi yang bertujuan untuk melukiskan, menggambarkan tentang gejala alam serta interaksi di antara gejala-gejala alam tersebut. Ketiga, metode erklaeren atau metode eksplanasi, adalah metode untuk menerangkan tentang berbagai hubungan gejala alam itu satu dengan yang lainnya. Keempat, metode kausalitas, yaitu metode yang mencoba menjelaskan gejala alam atas dasar hubungan sebab akibat.
Read More..

Cara Kerja Ilmu Empiris

Ilmu Empiris adalah ilmu yang bertitik tolak pada pengalaman indrawi. Pengalaman indrawi diartikan sebagai sentuhan, penglihatan, penciuman, pengecapan seseorang terhadap sesuatu yang diamatinya. Dengan demikian pengalaman indrawi dari seorang ilmuwan berkaitan dengan objek penelitian yang sifatnya sangat konkret, faktual. Dalam pengamatan atau observasi terhadap objek tersebut, seorang peneliti atau ilmuwan atau mahasiswa dapat menggunakan sarana untuk....

menunjang pengamatannya itu. Sarana itu dapat berupa alat-alat seperti mikroskop, teleskop, thermometer, neraca ataupun alat-alat pengukur lainnya. Tujuan pengamatan untuk memperoleh ataupun menangkap semua gejala terhadap semua objek yang diamatinya serta menjelaskan dengan benar. Hasil dari pengamatan itu berupa data awal yang harus dicatat dengan cermat, yang kelak akan sangat berguna bagi analisis sebuah penelitian.
Objek Ilmu Empiris
Ilmu empiris memiliki objek yang dapat dibedakan dari dua aspek, yaitu objek materi dan objek formal. Objek materi berupa apa saja yang dapat dimati oleh manusia, seperti alam semesta, mahluk hidup di dunia ini, dan manusia. Objek forma adalah pokok perhatian seseorang terhadap sesuatu yang menjadi minatnya yang sangat khusus. Objek forma atau aspek yang khusus dalam ilmu empiris dapat berupa misalnya minat yang sangat tinggi tentang kesehatan manusia, tentang pertumbuhan dan perkembangan dari tumbuh-tumbuhan, dari hewan, serta adat istiadat suatu bangsa/masyarakat tertentu. Dari hasil objek forma yang beraneka ragam itulah memunculkan ilmu-ilmu tertentu yang sifatnya empiris, misalnya ilmu kedokteran, biologi, ilmu teknik, botani, zoologi, antropologi, ilmu sosial.
Pendekatan atau Metode Ilmu Empiris
Pendekatan atau metode merupakan cara seorang ilmuwan atau peneliti atau mahasiswa mendapatkan data saat ia sedang melakukan pengamatan. Lazimnya di dalam ilmu empiris seorang ilmuwan atau mahasiswa menggunakan pendekatan atau metode induktif. Metode induktif adalah sebuah metode yang digunakan dalam ilmu empiris yang mencoba menarik kesimpulan dari penalaran yang bersifat khusus untuk sampai pada penalaran yang umum sifatnya. Pada penalaran yang sifatnya khusus itu, seorang pengamat akan mengamati beberapa hal atau sesuatu yang memiliki ciri-ciri yang khusus. Sebagai contoh, saat Takhfif melihat buah jeruk yang diletakkan di dalam sebuah keranjang, ia melihat bahwa keduapuluh jeruk itu berwarna kuning dan bentuknya bulat. Atas dasar itulah Takhfif menyimpulkan bahwa jeruk (yang berjumlah 20 yang berada di dalam keranjang semuanya berwarna kuning dan bentuknya bulat. Metode induksi berguna bagi ilmu empiris karena mendasarkan pada pengamatan faktual dan dipakai sebagai landasan berpijak pada ilmu empiris.
Read More..

FILSAFAT ILMU

Pada bab ini akan dibahas tentang pengertian filsafat ilmu pengetahuan dan ilmu pengetahuan, serta persamaan dan perbedaan yang mendasar tentang keduanya dengan filsafat.Pengenalan tentang berbagai bentuk pengetahuan dan ilmu pengetahuan sangatlah berguna terutama dalam menentukan dasar seseorang dalam...

memasuki dunia ilmu pengetahuan atau dunia ilmiah.
PENGETAHUAN DAN ILMU PENGETAHUAN
Pengertian Pengetahuan
Bagi manusia hal utama yang sangat penting bagi dirinya adalah keingintahuan tentang sesuatu. Sesuatu itu dapat berupa apa saja, sesuatu yang tampak konkret, nyata seperti meja, kursi, teman, alat-alat kedokteran, buku ,dan lain sebagainya. Baginya apa yang nampak dan diketahuinya akan menjadi sebuah pengetahuan, yang sebelumnya belum pernah dikenalnya. Untuk mendapatkan pengetahuan itu, maka pengenalan akan pengalaman indrawi sangat menentukan. Seseorang dapat membuktikan secara indrawi, secara konkret, secara faktual, dan bahkan ada saksi yang mengatakan, bahwa benda itu, misalnya kursi, memang benar ada dan berada di ruang kerja seseorang. Dengan pembuktian secara indrawi: karena sentuhan, penglihatan, pendengaran, penciuman, daya pengecap, dan argumen-argumen yang menguatkannya, maka sebenarnya telah muncul suatu kebenaran tentang pengetahuan itu. Bagaimana sebenarnya pengetahuan berasal? Pengetahuan muncul karena adanya gejala. Gejala-gejala yang melekat pada sesuatu misalnya bercak-bercak merah pada kulit tubuh manusia, aroma bau tertentu karena seseorang sedang membakar sate ayam, bau yang menyengat karena sudah lama got itu tidak dibersihkan, semua gejala itu muncul dihadapan kita. Kita harus “menangkap” gejala itu atas dasar pengamatan indrawi, observasi yang cermat, secara empiris dan rasional. Pengetahuan yang lebih menekankan adanya pengamatan dan pengalaman indrawi dikenal sebagai pengetahuan empiris atau pengetahuan aposteriori. Selain telah mengenal adanya pengetahuan yang bersifat empiris, maka pengetahuan empiris tersebut harus dideskripsikan, sehingga kemudian kita mengenal adanya pengetahuan deskriptif. Pengetahuan deskriptif muncul bila seseorang dapat melukiskan, menggambarkan segala ciri, sifat, gejala yang nampak olehnya, dan penggambaran tersebut atas dasar kebenaran (objektivitas) dari berbagai hal yang diamatinya itu.
Pengalaman pribadi manusia tentang sesuatu dan terjadi berulang kali juga dapat membentuk suatu pengetahuan baginya. Sebagai contoh, Takhfif merasa bahwa ia akan terlambat kuliah di kampus (kuliah di mulai pukul 9 pagi) apabila berangkat dari rumah pukul 7.30 pagi, karena perjalanan ke kampus membutuhkan waktu 2 jam. Selama ini ia sering terlambat masuk kuliah karena berangkat dari Rayon pukul 7.30 pagi. Untuk itu ia telah berpikir dan memutuskan bahwa setiap hari ia harus berangkat pukul 6.30 agar tidak terlambat di kampus. Contoh tersebut menunjukkan bahwa pemikiran manusia atau kesadaran manusia dapat dianggap juga sebagai sumber pengetahuan dalam upaya mencari pengetahuan. Selain pengamatan yang konkret atau empiris, kekuatan akal budi sangatlah menunjang. Kekuatan akal budi yang kemudian dikenal sebagai rasionalisme, (yaitu pandangan yang bertitik tolak pada kekuatan akal budi) lebih menekankan adanya pengetahuan yang sifatnya apriori, suatu pengetahuan yang tidak menekankan pada pengalaman. Matematika dan logika adalah hasil dari akal budi, bukan dari pengalaman. Sebagai contoh, dalam logika muncul pertanyaan: “jika benda A tidak ada, maka dalam waktu yang bersamaan, benda itu, A tidak dapat hadir di sini”, dalam matematika, perhitungan 2+2=4, penjumlahan itu sebagai sesuatu yang pasti dan sangat logis.
Pengertian Ilmu Pengetahuan
Sebuah pernyataan yang muncul dibenak setiap orang, sebenarnya ilmu pengetahuan atau pengetahuan ilmiah itu apa? Apakah ada perbedaan antara pengetahuan dengan ilmu pengetahuan? Untuk menjawab hal itu perlulah kita mengulasnya dengan cermat. Ilmu pengetahuan muncul karena adanya pengalaman manusia ketika ia mendapatkan pengetahuan tertentu melalui proses yang khusus. Sebuah cerita tentang Newton, bagaimana ia menemukan teori gravitasi dalam ilmu fisika bermula ketika ia merasakan sesuatu, yaitu apel yang jatuh dan menimpa kepalanya saat sedang duduk di bawah pohon apel. Pengalaman tentang sesuatu itulah yang menyebabkan orang kemudian berpikir dan berpikir lebih lanjut tentang sebab peristiwa tersebut. Berkat ketekunan, kesabaran, keingintahuan serta didukung dengan kepandaian dan intelegensi yang memadai dan daya kreativitas yang tinggi seseorang dapat menciptakan teori-teori atau hukum atau dalil dan teori-teori tersebut agar dapat diterapkan bagi kepentingan umat manusia. Munculnya teknologi atau hasil dari ilmu pengetahuan (berupa benda-benda di sekeliling manusia seperti misalnya mobil, pesawat terbang, kereta api, komputer, telpon selular, dan sebagainya), dari masa ke masa telah menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan memang mengalami kemajuan yang sangat pesat.
Tetapi pengalaman yang bersifat indrawi belumlah cukup untuk menghasilkan ilmu pengetahuan. Pengalaman indrawi tersebut harus mengalami proses ilmiah yang lebih lanjut, dan hal ini dikenal sebagai proses metodologis. Proses metodologis adalah suatu proses kerja di dalam kegiatan ilmiah (misalnya dapat berada dalam suatu laboratorium) untuk mengolah gejala-gejala pengetahuan dan bertujuan mendapatkan kebenaran dari gejala-gejala tersebut. Untuk itulah di dalam setiap proses metodologis atau proses kegiatan ilmiah, observasi atau pengamatan yang cermat terhadap objek penelitian haruslah diperhatikan dengan benar. Pengamatan secara empiris atau indrawi yang didukung dengan alat bantu tertentu seperti misalnya mikroskop, tape recorder atau kuesioner sangat membantu bagi seorang peneliti dalam mencari dan menemukan fakta penelitiannya. Hasil dari ilmu pengetahuan yang mendasarkan pada pengamatan indrawi dan faktual disebut sebagai ilmu pengetahuan empris. Ini berarti bahwa ilmu empiris bergantung pada objek penelitian yang sangat konkret dan terlihat, tersentuh, terdengar dan tercium oleh panca indra manusia. Di sisi lain, ilmu pengetahuan haruslah dapat dilukiskan, digambarkan, diuraikan secara tertulis tentang segala ciri-ciri, sifat maupun bentuk dari gejala-gejalanya, dan ilmu pengetahuan semacam itu disebut sebagai ilmu pengetahuan deskriptif. Contoh ilmu empiris adalah antara lain: ilmu kedokteran, antropologi, arkeologi, ilmu teknik, biologi, ilmu kimia, ilmu fisika, sedang contoh ilmu deskriptif adalah antara lain: ilmu filsafat, susastra, ilmu kedokteran, biologi, ilmu keperawatan, sosiologi, antropologi, dan sebagainya.
Bagi seorang ilmuwan lingkup ilmiah sangat mendukung dalam proses penelitiannya. Lingkup ilmiah tersebut haruslah sangat dikenal dan diakrabinya. Ia harus mengenal tentang langkah-langkah dalam kegiatan penelitiannya atau istilah teknis dalam kegiatan penelitian. Ia harus dapat berpikir logis, runtut dalam setiap langkah ataupun tahapan dalam setiap penelitiannya. Tahapan penelitian atau cara kerja ilmiah lazimnya dilalui dengan proses penalaran yang meliputi , misalnya :
a). Observasi yaitu pengamatan terhadap objek penelitian yang sifatnya konkret seperti manusia, bangunan, monumen, tumbuh-tumbuhan, penyakit dan sebagainya dan objek penelitian tersebut merupakan fenomena bagi penelitian seseorang atau peneliti.
b). Fakta yaitu suatu realitas yang dihadapi seorang peneliti, sesuatu yang saya lihat atau sesuatu tentang apa yang terjadi yang berkaitan dengan gejala dalam fenomena seseorang.
c). Data yaitu hasil atau sejumlah besaran atau kuantitas yang berasal dari fakta yang telah ditemukan oleh si peneliti. Di dalam data inilah seorang peneliti telah menemukan gejala yang lebih bersifat kuantitatif dan konkret/faktual dari objek penelitiannya, misalnya jumlah rumah sakit swasta yang ada di DKI Jakarta ada 30 buah; penderita diabetes mellitus pada Puskesmas Rawamangun pada bulan Maret 2006 berjumlah 10 orang, dan sebagainya.
d). Konsep merupakan pengertian atau pemahaman tentang sesuatu (yang berasal dari fakta), dan pemahaman itu berada pada akal budi atau rasio manusia. Konsep selalu dipikirkan oleh manusia, dan oleh karenanya menjadi pemikiran manusia. Bagi seseorang atau peneliti yang memiliki konsep tertentu atau konsep tentang sesuatu maka konsep tersebut harus dituliskan agar dapat dipahami oleh orang lain.
e) Klasifikasi atau penggolongan atau kategori adalah mengelompokkan gejala atau data penelitian ke dalam kelas-kelas atau penggolongan ataupun kategori atas dasar kriteria-kriteria tertentu. Syarat klasifikasi atau penggolongan ataupun kategori haruslah memiliki ciri, sifat yang homogen atau sama. Apabila ciri, sifat dari gejala itu tidak sama, maka klasifikasi dari suatu gejala atau data penelitian tersebut tidak menunjukkan kadar ilmiah yang benar.
f) Definisi yaitu merumuskan tentang sesuatu atau apa yang disebut (definiendum) dengan perumusan tertentu atau apa yang dinamakan (definiens). Definisi membantu seorang peneliti atau ilmuwan untuk merumuskan tentang sesuatu/ hal itu agar orang lain lebih mudah memahami perumusan tersebut. Untuk itu ada beberapa jenis definisi yang dijelaskan sebagai berikut :
(1). Definisi etimologis yaitu menjelaskan sesuatu atas dasar asal katanya. Misalnya kata biologi berasal dari bahasa Yunani (bios dan logos), yang artinya ilmu yang mempelajari tentang mahluk hidup
(2). Definisi stipulatif adalah merumuskan sesuatu atau istilah tertentu yang akan digunakan untuk masa depan. Pengertian masa depan adalah suatu pengerti-an yang diarahkan pada kegiatan seminar, ceramah, isi buku dan dalam kegiatan ilmiah tertentu istilah-istilah yang baru dimunculkan.
(3). Definisi deskriptif merumuskan tentang sesuatu atas dasar sejarah, ciri, sifat, kriteria-kriteria yang ada pada sesuatu atau gejala-gejala itu.
(4). Definisi operasional merumuskan tentang pelaksanaan atau cara kerja dari fungsi dan peran gejala, alat atau benda tertentu. Definisi operasional lazim digunakan dalam ilmu teknik, ilmu pengetahuan kealaman.
(5). Definisi persuasif merumuskan sesuatu dengan tujuan agar rumusan tersebut dapat mempengaruhi pemikiran seseorang. Definisi persuasif sering dipakai dalam kegiatan periklanan yang ditayangkan dalam media elektronik maupun media cetak, kegiatan kampanye politik dan sebagainya.
Definisi yang telah disebutkan di atas ternyata harus dipahami bahwa setiap perumusan definisi selalu menggunakan pernyataan bahasa. Bagi ilmu pengetahuan maka bahasa memegang peran penting, karena dapat mengungkapkan segala kegiatan penelitian seorang ilmuwan baik itu secara lisan maupun tertulis. Terutama dalah bahasa tulisan, maka bahasa ilmiah (bahasa ilmu) yaitu bahasa yang digunakan seorang ilmuwan dalam penelitiannya sangatlah penting karena segala upaya pembenaran metodologisnya berada di dalamnya seperti penjelasan dalam perumusan hipotesa, konsep, definisi, teori dan sebagainya.
Langkah proses penalaran pada penelitian berikutnya yaitu:
g). Hipotesa adalah suatu ramalan atau prediksi dalam kegiatan penelitian yang harus dibuktikan kebenarannya. Dalam hipotesa tersebut, perumusan masalah sangatlah penting. Seorang peneliti harus mampu merumuskan permasalaan penelitian dengan cermat dan teliti. Dan atas dasar hipotesa tersebut, maka ilmuwan atau peneliti akan menganalisanya lebih lanjut.
h). Teori adalah hubungan yang sedemikian rupa antara gejala satu dengan gejala lainnya dan hubungan tersebut telah dibuktikan kebenarannya. Sebenarnya, teori yang telah teruji kebenarannya berasal dari hipotesa yang telah ada (yang sebenarnya berasal dari kerja keras si ilmuwan, usaha yang tak mengenal lelah dan selalu melakukan trial dan error, uji coba dan pada akhirnya si ilmuwan itu membuahkan hasil teori yang sahih).
Read More..

Bahasa dan Dinamika Masyarakat : Sebuah Wacana Tentang Identitas Kebersamaan

A.Pendahuluan
Etnik atau ethnic groups secara umum dipahami sebagai masyarakat suku, atau masyarakat yang secara tradisi memiliki persamaan identitas. Wujud identitas itu misalnya bahasa, tempat tinggal, pola kekerabatan, pola perkawinan, religi, arsitektur rumah, pola tempat tinggal, dan lain-lain. Mengenai bahasa, maka makalah ini berusaha mengkaji fungsi bahasa baik secara konseptual maupun secara praksis. Bahasa sebagai salah satu identitas, di mana bahasa bisa menjadi identitas kolektif etnik, tetapi bahasa bisa juga menjadi identitas yang lebih luas dari etnik yaitu bangsa. Ciri yang menonjol dari identitas bangsa Indonesia tercermin dari adanya...

bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia. Walaupun dalam perkembangannya secara historis bahasa Indonesia yang baru muncul pada tahun 1928 dalam peristiwa Sumpah Pemuda kemudian mendapat beragam pengaruh kosa kata dari berbagai bahasa, akan tetapi bahasa Indonesia memiliki akar tradisi etnik yaitu bahasa Melayu.Fenomena ini berbeda misalnya dengan Philipina yang memiliki 2 bahasa nasional yaitu bahasa Tagalog dan bahasa nggris (Amerika), atau India yang bahasa nasionalnya adalah bahasa Inggris, atau Negara Aljazair yang bahasa nasionalnya bahasa Prancis, atau Singapura yang bahasa nasionalnya bahasa Inggris dan meninggalkan bahasa nenek moyangnya yaitu bahasa Melayu. Akar budaya kaum kolonial yang tercermin di dalam bahasanya itulah kemudian yang menjiwai negara-negara tersebut di muka yang telah mengadopsi bahasa bekas negara penjajahnya untuk dijadikan bahasa persatuan sebagai perekat etnik.
Bahasa Indonesia tentu saja memiliki karakter khusus karena dia berakar dari tradisi etnik lokal yang kemudian dimodifikasi dan diadopsi menjadi bahasa persatuan yang berfungsi sebagai perekat keberagaman etnik. Bahasa Indonesia bersifat fleksibel dan ini tampak dalam berbagai dialek misalnya bahasa Indonesia dialek Betawi, dialek Sulawesi Selatan, dialek Palembang, dialek Papua dll, dan menurut Ferdinand de Saussure (1996: 80) hal ini adalah aspek parole dari bahasa. Bahasa Indonesia baku (ejaan yang disempurnakan / EYD) dalam konteks Saussurian disebut sebagai aspek langue. Langue-lah yang menjadi titik tekan kajian ilmu linguistik, langue merupakan fakta sosial yang artinya dia menjadi milik kolektif sistem dan berada di atas fakta individu. Parole adalah fakta individu. Sosialisasi Bahasa Indonesia baku secara massal dan berkesinambungan misalnya dilakukan oleh TVRI atau TV-TV swasta yang menggunakan bahasa baku dalam siarannya. Untuk itu maka makalah ini akan mencoba mengkaji kasus pemanfaatan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar pada siaran televisi-televisi yang siarannya berjangkauan nasional.
B. Fungsi Bahasa
Lebih dahulu marilah kita berdiskusi tentang fungsi atau peranan. Di dalam ilmu sosial-budaya apabila mengkaji fenomena sosial dengan perspektif fungsi maka mau tidak mau akan menyandarkan pijakan paradigma pada pendekatan fungsionalisme."Fungsionalisme sebagai perspektif teoritik dalam antropologi bertumpu pada analogi dengan organisme/makhluk hidup. Artinya, sistem sosial-budaya dianalogikan sebagai sistem organisme, yang bagian-bagiannya atau unsur-unsurnya tidak hanya saling berhubungan melainkan juga memberikan peranan bagi pemeliharaan, stabilitas, integrasi, dan kelestarian hidup organisme itu. Dengan analogi seperti itu maka semua sistem budaya memiliki syarat-syarat fungsional, atau sistem budaya memiliki kebutuhan sosial yang harus dipenuhi agar sistem sosial-budaya dapat bertahan hidup. Apabila kebutuhan itu tidak terpenuhi maka sistem sosial-budaya itu akan mengalami disintegrasi dan mati, atau dia akan berubah menjadi sistem lain tetapi beda jenis" (David Kaplan & Albert Manners, 2000: 77-78).
Pendekatan fungsional ini dikembangkan oleh dua orang antropolog Inggris yaitu Bronislaw Malinowski dan Radcliffe Brown (Adam Kuper, 1996; 40). Dengan mengacu pada pendekatan fungsional itu maka stabilitas dan integrasi sistem sosial-budaya sangat tergantung pada fungsi dari unsur-unsur yang menjadi bagian dari sistem. Kalau suatu sistem organisme/makhluk hidup itu unsur-unsurnya adalah kaki, mata, telinga, tangan, mulut, atau hidung maka sistem sosial-budaya yang bernama negara (sebagai contoh) unsur-unsurnya akan terdiri dari pemerintah, birokrasi, aparat keamanan, wilayah, bahasa, mata uang, atau penduduk. Semua unsur tersebut tidak hanya saling berhubungan akan tetapi juga saling menyumbangkan fungsinya masing-masing agar integrasi sistem tetap terjaga. Apabila salah satu unsur mengalami disfungsi atau tidak mampu menyumbangkan peran sesuai kapasitasnya, maka akibatnya akan dirasakan oleh unsur-unsur yang lain. Pada akhirnya integrasi sistem akan goncang. Salah satu kelemahan dari pendekatan fungsionalisme ini adalah pada asumsinya bahwa kondisi sistem sosial-budaya itu selalu dalam keadaan stabil dan terintegrasi. Maka pendekatan fungsional tidak mampu menjelaskan adanya perubahan sistem sosial budaya secara menyeluruh. Hal ini wajar karena semua pendekatan teoritik selalu memiliki kelebihan dan kekuarangan. Kita kembali pada sistem sosial-budaya yang bernama negara, yaitu negara Indonesia, yang unsur-unsurnya akan terdiri dari pemerintah, bangsa, wilayah, bahasa, atau penduduk. Dalam hal ini kita ambil salah satu unsur negara yaitu bahasa.
Bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa persatuan, sekaligus menjadi identitas bangsa Indonesia. Apabila Bahasa Indonesia sebagai unsur dari sistem negara pada suatu saat tidak mampu memberikan fungsinya sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa persatuan, atau identitas bangsa maka akan terbayangkan adanya kegoncangan sistem sosial-budaya. Dalam peristiwa kenegaraan pasti akan terjadi kekacauan karena tidak ada bahasa kenegaraan. Semua orang akan membenarkan bahasa yang mereka gunakan sesuai etnisnya walau masing-masing berbeda bahasa. Tidak akan ada bahasa persatuan yang menjadi bahasa pengantar bagi masyarakat Indonesia yang memiliki latar belakang etnis dan bahasa beraneka macam. Tidak akan ada bahasa yang dijadikan identitas kebersamaan bahwa semua unsur itu menjadi bagian dari sistem yang bernama negara Indonesia. Inilah yang disebut sebagai disintegrasi atau distabilitas sistem negara. Sebagai identitas bangsa atau negara maka bahasa Indonesia menjadi ciri atau tanda yang membedakan dengan bangsa lain atau negara lain. Identitas ini bisa saja menjadi salah satu faktor kebanggaan pada sebuah bangsa, yang kadang-kadang diiringi dengan sikap merendahkan atau menganggap aneh identitas bangsa lain. Identitas ini tidak stabil atau baku akan tetapi selalu berproses lewat wacana untuk berkomunikasi, sehingga identitas selalu terjaga, dinamis, berubah, atau malah musnah. Berawal dari merosotnya atau musnahnya kebanggaan akan identitas yang berupa Bahasa Indonesia maka bisa jadi ini adalah awal dari disintegrasi negara Indonesia. Tidak ada lagi alat komunikasi sesama warga Indonesia yang menjadi kebanggaan bersama, masing-masing merasa bangga dengan bahasa daerahnya atau bangga dengan bahasa manca negara sehingga bahasa Indonesia akan ditinggalkan.
C. Bahasa Indonesia dan Siaran Televisi Nasional
Apabila Bahasa Indonesia masih tetap diperlukan sebagai salah satu identitas kebersamaan bagi warga negara Indonesia maupun bahasa persatuan yang bisa menjaga integrasi negara Indonesia, maka tentu saja harus ada sosialisasi dan pewarisan (transmission). Beberapa cara bisa dilakukan untuk hal itu, dan salah satu cara yang diungkapkan di sini adalah peranan stasiun televisi bersiaran nasional baik milik pemerintah (TVRI) maupun milik swasta (RCTI, SCTV, TPI, ANTV, Indosiar, dll). Tidak semua materi siaran televisi itu selalu menggunakan bahasa Indonesia baku, yang oleh Ferdinand de Saussure (1996:360-361) disebut sebagai aspek langue dari bahasa. Bahasa dalam siaran televisi ini menarik untuk dikaji karena dia menjadi bagian dari dinamika masyarakat di Indonesia.
Teknologi canggih bernama televisi yang berbasis pada media satelit palapa ini mulai muncul di Indonesia pada tahun 1960-an. Fenomena sosial-budaya yang begitu banyak dan begitu luas kemudian "bisa dilipat-lipat" untuk dihadirkan di dalam ruang-ruang yang sempit sekalipun seperti ruang keluarga di dalam rumah. Teknologi televisi-lah beserta hard ware-nya yang bisa menjadi salah satu media transformasi dari dunia yang luas kemudian bisa hadir di tengah-tengah ruang keluarga. "Dunia yang begitu luas dan besar kini bisa 'dilipat-lipat' dalam bentuk televisi, surat kabar, majalah, internet, dan radio sehingga bisa hadir di tengah-tengah keluarga dan di ruang yang sempit sekalipun" (Yasraf Amir Piliang, 1999).
TVRI selama puluhan tahun menjadi pemain tunggal stasiun penyiaran televisi di Indonesia yang telah menjangkau berbagai pelosok Indonesia. Baru pada paruh ke-dua tahun 1980-an mulai muncul stasiun televisi swasta di Jakarta dengan siaran lokal yaitu RCTI. Setelah itu kemudian muncul stasiun TPI, SCTV, Indoesiar dan lain-lain yang jangkauan siarannya berskala nasional seperti halnya TVRI. Walaupun begitu dalam hal misi, tentu saja TVRI lebih terlihat sebagai stasiun televisi yang lebih mengedepankan aspek non-komersial dengan meniadakan siaran iklan, yang kemudian disusul dengan membatasi siaran iklan. Sumber operasional TVRI berasal dari dana pemerintah dan hak siar iklan dari televisi-televisi swasta. Slogan "TVRI menjalin persatuan dan kesatuan" bukanlah sekedar jargon yangtanpa arti. Di balik slogan ini terkandung semangat untuk menjadi agen atau media perekat bagi berbagai etnis di Indonesia agar tetap dalam kondisi terintegrasi, tidak terpecah-belah. Slogan TVRI itu hampir mirip dengan slogan "sekali di udara tetap di udara" milik Radio Republik Indonesia (RRI) yang menyimpan semangat untuk terus mengudara melakukan siaran walau segenting apa pun keadaan negara. Kalau masyarakat Indonesia dalam kondisi selalu terpisahkan oleh ruang dan waktu dengan saudara-saudaranya sesama warga Indonesia yang lain, maka siaran berita televisi berusaha menjadi media pemersatu ke dalam "waktu yang sama", dan seolah-olah para pemirsa televisi berada di dalam "satu ruang yang sama".
Ada kelebihan pada siaran TV jika dibanding dengan siaran radio. Siaran radio hanya menyuguhkan aspek audio sehingga masyarakat hanya bisa mendengar tanpa bisa melihat wajah dan ekspresi penyiar radio. Siaran televisi selain bersifat audio juga ada aspek visual, sehingga masyarakat bisa mendengar sekaligus bisa melihat wajah dan ekspresi sang penyiar televisi. Dari hal ini muncul kesan seolah-olah antara penyiar televisi dengan masyarakat pemirsa berada di dalam suatu "ruang dan waktu" yang sama. Pada hal-hal tertentu TVRI bisa dianggap sebagai sebagai salah satu simbol pemersatu bagi masyarakat Indonesia melalui siaran-siarannya yang ditujukan kepada seluruh masyarakat Indonesia, atau masyarakat Indonesia di negara tetangga yang masih bisa menangkap siaran TVRI.
Mengenai apa itu simbol maka bisa kita rujuk pendapat dari William A. Folley (1997: 26); "A simbol is a sign in which the relationship between its form and meaning is stricly conventional, neither due to physical similarity or contextual constraints". Jadi sebuah simbol adalah sesuatu yang akan memiliki makna apabila sesuatu itu dihubungkan dengan hal yang lain. Pemberian makna ini tentu saja mengacu kepada konteks sosial-budaya masyarakat si pemilik simbol. Mungkin saja sesuatu itu oleh sekelompok masyarakat dianggap sebagai simbol yang penuh makna, akan tetapi bisa saja objek yang sama itu oleh masyarakat yang lain dianggap tidak memiliki makna apa-apa atau hampa makna.
TVRI bisa jadi dianggap sebagai salah satu simbol pemersatu bagi masyarakat Indonesia karena dia mampu menyebarkan informasi dengan bahasa Indonesia ke seluruh pelosok negara. Sedangkan bahasa Indonesia adalah bahasa pengantar bagi masyarakat Indonesia yang berbeda etnis maupun bahasa ibu, sebagai bahasa resmi kenegaraan termasuk bahasa dokumen atau arsip maupun buku-buku pelajaran di sekolah, dan bahasa resmi bagi penyebaran informasi di media massa. TVRI memiliki makna mendalam karena dia dihubungkan dengan keberadaan bahasa Indonesia maupun keberadaan bangsa Indonesia. TVRI menjadi simbol jembatan bagi masyarakat Indonesia yang secara geografis maupun kultural adalah masyarakat majemuk.
Media televisi, terutama dalam siaran berita misalnya TVRI (siaran Dunia dalam Berita, Berita Malam), RCTI (siaran Nuansa Pagi, Buletin Siang), Indosiar (siaran Fokus), SCTV (siaran Liputan 6 pagi, Liputan 6 Siang) dan lain-lain, kalau diamati maka pasti para penyiarnya menggunakan bahasa Indonesia baku. Akan tetapi dalam berbagai siaran yang lain misalnya berbagai siaran iklan, pertunjukan musik, siaran kuis, atau siaran kesenian maka akan terlihat bahasa pop atau "bahasa gaul" dengan berbagai varian menjadi bahasa pengantar. Di sini bisa dilihat adanya aspek langue (pada bahasa berita) sekaligus adanya aspek parole (pada berbagai siaran yang lain) dalam siaran televisi di Indonesia. Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah mengapa dalam siaran berita menggunakan bahasa Indonesia baku, sedangkan dalam siaran yang lain menggunakan bahasa pop ? Tentu tidak akan mudah untuk menjawabnya secara rasional, sistematis, dan jernih. Fenomena bahasa berita di media televisi ini menarik untuk dikaji karena pada tingkatan tertentu bahasa berita bisa meng-hegemoni sebagian masyarakat pemirsa televisi sehingga mereka harus mengikutinya (melihat, mendengar, membenarkan dan memperbincangkan). Hegemoni sendiri sering diartikan sebagai kekuasaan yang dicapai melalui kesepakatan dan bukan paksaan. Daya jangkau hegemoni sangat dalam, mencakup pikiran dan perasaan masyarakat, beroperasi di wilayah publik serta wilayah domestik.
Hegemoni sering dibedakan dengan dominasi, di mana dominasi diartikan sebagai kekuasaan yang dicapai melalui paksaan dan kekerasan, daya jangkau kekuasaan dominasi hanya sampai permukaan. Hegemoni secara halus menuntun orang untuk bersikap atau berperilaku sesuai dengan pemegang kekuasaan hegemoni bahkan kadang-kadang orang tidak merasa terpaksa atau melakukan sesuatu dengan suka rela. Sedangkan kekuasaan dominasi itu dilakukan secara paksaan, orang sanggup bersikap atau berperilaku sesuai dengan pemegang kekuasaan dominasi karena daya resistensi orang tersebut kalah kuat dari daya paksa pemegang dominasi.
Bahasa siaran berita televisi beroperasi pada wilayah hegemoni, akan tetapi pada saat tertentu juga beroperasi pada wilayah dominasi. Contoh dari dominasi ini adalah saat sang pembaca berita memerintahkan kepada pemirsa, "Jangan kemana-mana dulu karena kami akan hadir lagi setelah jeda iklan berikut ini" atau "Tetaplah bersama saluran kami". Kalimat-kalimat imperatif dan "tembak langsung" ini sering kita jumpai pada siaran berita di televisi. Di dalam membacakan berita maupun format penghadiran berita maka juga bisa dilihat adanya aspek seni. Sentuhan seni ini juga menjadi daya tarik khalayak untuk menyaksikan siaran berita televisi.
Dari sini terlihat, seni telah dimanfaatkan oleh para pembaca berita pada siaran televisi untuk mengkomunikasikan berbagai hal yang berhubungan dengan informasi kepada khalayak pemirsa televisi. Mengenai makna seni, maka dapat diperhatikan pendapat dari Taufik Abdullah, "…pada tahap awal seni adalah suatu pilihan dari berbagai cara untuk melukiskan dan mengkomunikasikan sesuatu. Tentu saja setiap bentuk seni sesungguhnya adalah perkembangan dari cara-cara yang biasa dilakukan dalam hidup manusia--sajak tentu berawal dari ucapan, dan tarian tentu berawal dari gerakan" (Analisis Kebudayaan, tahun I; No.2 1980/1981: 11). Keinginan para pembaca berita di televisi untuk mendapat perhatian dan tawaran ketertarikan menyaksikan berita, dikomunikasikan kepada masyarakat pemirsa melalui seni membaca berita. Seni menjadi media yang dimanfaatkan untuk menghadirkan pesona siaran berita.
D. Integrasi Sosial
Dengan mengutip pandangan dari de Saussure, Ernst Cassirer (1987: 186) mengatakan bahwa, "de Saussure menarik garis tajam antara la langue dengan la parole. Bahasa (la langue) bersifat universal, sedangkan proses tuturan (la parole) sebagai proses temporal dan bersifat individual. Setiap individu memiliki gaya bahasa sendiri. Akan tetapi dalam analisis ilmiah tentang bahasa, kita mengabaikan perbedaan-perbedaan individual itu, kita menelaah fakta sosial yang mengikuti kaidah-kaidah umum yaitu kaidah-kaidah yang tidak tergantung kepada si penutur individual. Tanpa kaidahkaidah umum seperti itu maka bahasa tidak akan dapat menunaikan tugas utamanya; bahasa tidak dapat dipakai sebagai media komunikasi di antara anggota-anggota masyarakatnya". Dari kutipan ini terlihat bahwa langue yang memiliki kaidah-kaidah umum adalah fakta sosial, yang posisinya lebih tinggi dari fakta individu.
Fakta sosial ini beroperasinya adalah lintas individu dan bersandar pada kaidah-kaidah umum bahasa, agar bahasa bisa menjadi media komunikasi sosial. Langue yang memiliki sifat sebagai media komunikasi sosial bahkan pada tataran tertentu mampu menjadi media integrasi sosial lewat siaran berita televisi. Bahkan pada fenomena kehidupan bernegara langue juga bisa bersifat politis. Seperti yang ditulis oleh Eriyanto, "Pada tahun 1974 pemerintah melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA II) juga mencakup sasaran khusus untuk pengembangan bahasa, sastra, dan kebudayaan. Pada tahun 1974 dibentuk proyek Pengembangan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah. Pada tahun 1984 proyek ini dibagi menjadi dua bagian yaitu Proyek Pengembangan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Proyek Pengembangan Bahasa dan Sastra Daerah. Salah satu perhatian utama dari kebijakan bahasa oleh pemerintah adalah mengadakan pembakuan bahasa Indonesia dan menerapkan serta menghimbau 'pemakaian bahasa yang baik dan benar'. Perundangan kebijakan ini dituangkan di dalam Ketetapan MPR No.II/MPR/1983 yang menyatakan bahwa bahasa harus dibina dan dikembangkan serta digunakan secara baik dan benar" (Eriyanto, 2000; 74-75). Langkah pemerintah itu bisa jadi adalah usaha untuk menjaga integrasi bangsa Indonesia lewat kebijakan bahasa Indonesia. Kebijakan ini tentu berdampak terhadap berbagai segi kehidupan masyarakat karena bahasa Indonesia yang dibakukan kemudian menjadi referensi tentang penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Penulisan dalam berbagai surat keputusan, surat- menyurat resmi, arsip-arsip birokrasi, acara protokoler, bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan, siaran-siaran resmi di televisi atau di radio adalah realitas sosial yang secara langsung akan mengikuti kebijakan bahasa oleh pemerintah. Kebijakan pemerintah ini bukannya berjalan mulus tanpa hambatan.
Sebagian kaum akademisi secara kritis dan tajam mengoreksi kebijakan bahasa dari pemerintah ini. Contoh dari mereka ini adalah Virginia Matheson Hooker dan Ariel Heryanto, yang mengatakan bahwa penggunaan bahasa yang baik dan benar adalah salah satu bentuk manipulasi pemerintah untuk mengukuhkan kekuasaan terhadap rakyat. Bahasa yang baik dan benar bisa dianggap sebagai simbol adanya pusat kebenaran yang harus memiliki kewibawaan, di mana semua kebijakannya harus ditaati oleh masyarakat. Bahasa yang baik dan benar adalah yang digunakan oleh pemerintah, sedangkan yang digunakan oleh masyarakat adalah sebaliknya, sehingga masyarakat harus mengikuti pusat kebenaran yaitu pemerintah.
Pembakuan bahasa, oleh kalangan pengritik juga dianggap sebagai pengingkaran terhadap dinamika sosial-masyarakat sebab bahasa adalah bagian dari sebuah dinamika sosial-masyarakat yang sifatnya natural (alamiah). Dari hal ini kita bisa melihat bahwa fenomena bahasa Indonesia juga tidak bisa dipisahkan dari nuansa politik dalam kehidupan bernegara. Bahasa Indonesia yang diposisikan sebagai bahasa persatuan bagi masyarakat Indonesia secara otomatis telah menciptakan fenomena bahasa berdampingan dengan fenomena politik, dalam hal ini adalah politik kebahasaan. Mengenai bahasa yang identik dengan dinamika sosial-masyarakat ini juga bisa kita telah dari pandangannya de
Saussure (1996; 361) bahwa "Di antara etnis dan langue terjadi hubungan timbal balik. Hubungan sosial cenderung menciptakan adanya masyarakat bahasa dan kemungkinan mencetak ciri-ciri tertentu pada langue yang dipakai. Sebaliknya, masyarakat bahasalah yang dalam batas-batas tertentu juga bisa membentuk satuan etnis. Pada umumnya satuan etnis cukup menjelaskan tentang masyarakat bahasa". Dari kutipan tersebut, terlihat bahwa bahasa adalah ciri yang menonjol dan mudah diamati dari suatu masyarakat.

Bahasa tertentu identik dengan masyarakat tertentu, misalnya bahasa Bali identik dengan etnis Bali atau bahasa Bugis akan identik dengan etnis Bugis. Jadi bahasa mampu menciptakan etnis. Begitu juga sebaliknya ternyata bahasa itu menjadi ada karena diciptakan oleh suatu etnis. Misalnya bahasa Indonesia itu menjadi ada karena diciptakan oleh masyarakat Indonesia, walau fondasinya adalah bahasa Melayu akan tetapi dua bahasa itu kemudian memiliki perbedaan-perbedaan. Fenomena inilah yang biasa disebut sebagai bahasa dan dinamika masyarakat. Bisa juga dikatakan bahwa bahasa sebenarnya adalah dinamika masyarakat itu sendiri. Karena adanya suatu dinamika masyarakat di Indonesia, maka bahasa Indonesia yang digunakan pada masa perjuangan tahun 1945-1949 memiliki karakter heroik, sedangkan pada masa pemerintahan Orde Baru bahasa Indonesia karakternya sarat dengan eufemisme atau penghalusan kata untuk menyembunyikan makna yang sesungguhnya.
Lain lagi karakter bahasa Indonesia pada masa puncak reformasi tahun 1998 hingga 1999 yang syarat dengan hujatan, caci-maki, dan pembongkaran aib mantan penguasa. Fenomena kebahasaan pada tahun 1998-1999 itu bisa disaksikan pada berbagai liputan berita (bukan pembacaan siaran berita--pen) stasiun-stasiun televisi tentang peristiwa yang terjadi di lapangan. Begitu cepatnya berita-berita tentang kerusuhan sebagai ekses proses peralihan kekuasaan di Jakarta dan beberapa kota di Jawa kemudian menyebar ke seluruh pelosok Indonesia.Pada sisi kecepatan penyampaian berita sehingga menyebar kepada masyarakat Indonesia, juga bisa dilihat bahwa siaran berita televisi bisa menjadi media pembangun integrasi sosial karena masyarakat luas tidak tersekat atau terpisahkan oleh ruang dan waktu. E. Kesimpulan Pada bagian ini dengan memperhatikan uraian di muka dapatlah ditarik sebuah benang merah yang berupa kesimpulan. Dengan mengambil kasus siaran berita yang menggunakan bahasa Indonesia baku pada stasiun televisi milik pemerintah yaitu TVRI maupun stasiun televisi swasta seperti RCTI, SCTV, Indosiar, TPI, ANTV, Metro TV dan lain-lain maka tulisan ini telah berusaha mengkaji fenomena bahasa dan dinamika masyarakat di Indonesia.
Bahasa Indonesia baku yang digunakan dalam siaran berita berbagai stasiun televisi tersebut telah menjadi salah satu media integrasi sosial bangsa Indonesia. Siaran berita dengan bahasa Indonesia baku ini merupakan aspek langue dari kajian tentang siaran televisi. Langue beroperasi pada wilayah sosial dan bukannya pada wilayah individual, sehingga langue bisa disebut sebagai fakta sosial. Bahasa dan dinamika masyarakat adalah fenomena yang bersifat natural, akan tetapi bisa juga berubah menjadi fenomena politis karena adanya campur tangan dari penguasa. Bahasa kemudian dijadikan sebagai alat untuk mengontrol masyarakat dan lebih jauh lagi adalah untuk mengokohkan kekuasaan atau malah untuk mewujudkan integrasi sosial. Integrasi sosial bisa juga terjadi karena adanya identitas kebersamaan yang bisa menjadi pembeda dengan entitas sosial yang lain, yang kadang-kadang diikuti oleh kebanggaan terhadap entitas sendiri dan tidak jarang mengganggap remeh entitas sosial yang lain. Bahasa adalah salah satu simbol identitas kebersamaan yang bisa berfungsi untuk mewujudkan integrasi sosial.
Semiotika Alquran yang Membebaskan
Dengan pertimbangan bahwa al-Quran, yang terdiri dari rangkaian huruf-huruf arab serta tersusun dalam untaian kata-kata dan kalimat, merupakan media tempat carut- marutnya tanda-tanda, maka salah satu pendekatan yang agaknya menarik dan relevan digunakan sebagai metodologi tafsir adalah pendekatan semiotika yang mengkaji bagaimana cara kerja dan fungsi tanda-tanda dalam teks al-Quran.
Tafsir klasik konvensional seringkali dinilai hegemonik, mendominasi, anti-konteks, status-quois, mengkungkung kebebasan, dan bahkan menindas. Dengan tujuan untuk mencapai pemaknaan tunggal yang dianggap benar, para ulama menuntut model tafsir yang seragam. Akibatnya, tafsir menjadi asosial, ahumanis, terpusat pada teks, dan mengabaikan unsur-unsur di luar teks.
Saat ini, pergulatan dalam ranah kajian tafsir kontemporer menuntut adanya suatu model tafsir yang membebaskan. Tafsir yang tidak hanya didominasi oleh sebagian golongan tertentu, tetapi juga menampung aspirasi dan pendapat kelompok-kelompok yang selama ini tersubordinatkan. Ini dapat dilihat dari semakin maraknya kemunculan tafsir-tafsir yang menggunakan beragam pendekatan baru dengan bertujuan menggoyang kemapanan tafsir konvensional, seperti hermeneutika, pendekatan feminisme, teologi pembebasan, pendekatan sastra, pendekatan kontekstual, dan posmodernis.
Dengan pertimbangan bahwa al-Quran, yang terdiri dari rangkaian huruf-huruf arab serta tersusun dalam untaian kata-kata dan kalimat, merupakan media tempat carut- marutnya tanda-tanda, maka salah satu pendekatan yang agaknya menarik dan relevan digunakan sebagai metodologi tafsir adalah pendekatan semiotika yang mengkaji bagaimana cara kerja dan fungsi tanda-tanda dalam teks al-Quran.
Semiotika sebagai sebuah disiplin tentang tanda, cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya, dapat digunakan untuk memahami tanda-tanda yang terdapat dalam al-Quran. Semiotika berbeda dengan hermeneutika—ilmu tentang kebenaran makna atau makna-makna tersembunyi di balik teks-teks yang secara literer tampak tidak memuaskan atau dianggap superfisial.
Pendekatan hermeneutika dalam tafsir al-Quran menuntut tiga fokus utama yang selalu dipertimbangkan, yaitu: dunia teks, pengarang, dan pembaca. Hermeneutika berbicara mengenai hampir semua hal yang berkaitan dengan ketiga hal tersebut. Sedangkan semiotika membahas sesuatu yang lebih spesifik. Jika hermeneutika memberikan fokus cukup luas yang mencakup teks, pembacaan, pemahaman, tujuan penulisan, konteks, situasi historis, dan kondisi psikologis pembaca maupun pengarang teks. Maka, semiotika mempersempit wilayah kajian tersebut dengan hanya memberikan fokus pembahasan hanya tentang tanda, fungsi, dan cara kerjanya
***
Tokoh utama peletak dasar semiotika modern adalah Ferdinand de Saussure (1857-1913), seorang pengajar linguistik umum di Universitas Jenewa pada 1906. Dalam kumpulan catatan-catatan kuliahnya, Cours de Linguistique Général (1916), Saussure memperkenalkan semiologi atau semiotika sebagai ilmu analisis tanda atau studi tentang bagaimana sistem penandaan berfungsi dan cara kerjanya
Pada perkembangan selanjutnya, semiologi ala Saussure melahirkan lingkaran intelektual yang sangat berpengaruh antara 1950-an sampai 1960-an. Mazhab tersebut disebut strukturalisme. Tesis utama strukturalis ialah bahwa alam dunia dapat dipahami selama kita mampu mengungkap adanya struktur yang menjamin keteraturan, atau pola sistematika benda, kejadian, kata-kata, dan fenomena.
Pendekatan strukturalisme melahirkan karya-karya tafsir yang tentu saja menuntut pemaknaan tunggal. Ayat-ayat al-Quran hanya dapat diungkap oleh satu macam arti. Alasannya adalah karena memang terdapat sistem yang mapan di balik tanda-tanda al-Quran. Hubungan antara teks di dunia nyata dengan maknanya di dunia ide adalah baku dan tidak dapat diganggu gugat. Teks al-Quran sebagai penanda telah dikaitkan dengan apa yang disebut Jacques Lacan sebagai points de capiton, kancing pengait. Tentu saja pertanyaan yang muncul kemudian adalah: siapakah yang mempunyai hak untuk menetapkan point de capiton tersebut? Dan siapa pula yang menegaskan kebakuan hubungan antara teks al-Quran dengan maknanya?
Semiotika post-strukturalis datang dengan konsep yang berkebalikan dari gagasan strukturalisme. Post-strukturalisme mengganggap petanda yang merupakan pusat dari struktur selalu bergeser terus-menerus. Dengan demikian, tak ada yang disebut dengan pusat dan tak ada asal usul yang pasti. Semuanya akan menuju ke suatu permainan petanda yang tak terbatas, karena penanda tidak mempunyai hubungan yang pasti dengan petanda. Hubungan penanda-petanda adalah arbriter. Menurut Roland Barthes, petanda selalu mempunyai banyak arti (plus de sens). Tak ada hubungan intern antara konsep yang ditunjukkan dengan bunyi yang menunjukkannya, sehingga tak ada petanda yang pasti bagi penanda. Penanda bersifat polisemi, bermakna ganda, dan petanda dapat bergeser terus menerus dari penandanya.
Jacques Derrida, seorang filosof aliran post-strukturalis, menyebutkan bahwa tak ada perbedaan eksistensial di antara berbagai jenis literatur yang berlainan. Semua naskah memiliki ambiguitas fundamental yang merupakan akibat dari sifat natural bahasa itu sendiri. Begitu juga dengan al-Quran. Derrida bersikukuh bahwa ada banyak cara untuk membaca dan memahami teks. Makna teks tidak lagi sama dengan apa yang dikehendaki oleh si pengarang. Yang tercatat dalam naskah bisa menimbulkan “multiple- understanding” (keragaman pemahaman) pada saat yang sama.
Keinginan Derrida adalah membebaskan naskah. Naskah harus dibebaskan dari usaha pemaknaan tunggal resmi yang mungkin dikonstruk oleh budaya hegemonik atau oleh struktur-struktur kelembagaan formal yang menegaskan bentuk-bentuk wacana diskursif. Untuk tujuan tersebut, Derrida memperkenalkan konsep “dekonstruksi” yang memiliki tugas membebaskan naskah, mengembangkan dan mengungkap ambiguitas terpendam, menunjukkan kontradiksi internal, dan mengidentifikasi kelemahannya. Hal ini adalah kondisi yang selalu mungkin (condition of possibilities) yang terdapat pada teks.
Condition of possibilities merupakan kata kunci untuk memahami naskah al-Quran. Pada dasarnya, apakah yang sebenarnya berlaku dalam tafsir? Adakah struktur dibalik teks atau tidak. Jika memang teks dibangun di atas seperangkat sistem yang teratur, mengapa kemudian lumrah terjadi keberagaman pemahaman. Bahkan para sahabat pun kerapkali berselisih paham mengenai persoalan-persoalan keagamaan, terutama tafsir al-Quran.
***
Berkaitan dengan condition of possibilities teks yang berpotensi menimbulkan multi-pemahaman, Umberto Eco menyarankan agar bahasa diperlakukan seperti ensiklopedia yang selalu dinamis, terbuka, dan memungkinkan masuknya entry-entry baru. Tidak seperti kamus yang mirip “pohon porphyri” (model definisi, terstruktur melalu genre, spesies, dan pembeda).
Eco menunjukkan adanya perbedaan antara struktur kamus dan struktur ensiklopedia. Dalam linguistik konvensional, bahasa merupakan sebuah sistem yang statis dan tertutup. Model kamus pada bahasa tidak mampu menangani, meminjam istilah Peirce, “semiosis tak terbatas”—hasil dari fakta bahwa tanda dalam bahasa terkait dengan tanda-tanda lain, dan suatu naskah selalu menawarkan kesempatan penafsiran yang tak terhingga banyaknya. Sebaliknya, ensiklopedia akan sesuai dengan suatu jaringan tanpa pusat yang darinya tidak terdapat jalan keluar, atau jalan ke suatu model tak berhingga yang memberi kesempatan bagi unsur-unsur baru.
Agar bisa berfungsi dengan baik sebagai jaringan kata-kata yang memberikan kesempatan munculnya makna-makna baru, maka bahasa harus menjadi sistem dinamis yang terbuka dan mirip dengan ensiklopedia.
Begitu pula dengan tafsir. Pemaknaan ayat-ayat al-Quran yang disusun seperti struktur kamus sudah pasti akan menghasilkan sebuah sistem yang eksklusif, bersifat hegemonik, dan status-quois. Maka, alangkah baiknya jika pemaknaan al-Quran dilandasi oleh semangat ensiklopedia yang terbuka, inklusif, dinamis, dan memberikan kesempatan bagi pembebasan, baik pembebasan bagi makna itu sendiri maupun bagi masyarakat yang merasakan dampak positifnya secara langsung.

Berkenalan Dengan Post Strukturalisme
Pengantar singkat wacana post strukturalisme dalam kesusasteraan
Strukturalisme dibangun atas prinsip Saussure* bahwa bahasa sebagai sebuah sistem tanda harus dilihat ke dalam tahapan tunggal sementara (single temporal plane). Aspek diakronis bahasa, yakni bagaimana bahasa berkembang dan berubah dari masa ke masa, dilihat sebagai bagian yang kurang penting. Dalam pemikiran post strukturalis, berpikir sementara menjadi hal yang utama.
Tokoh utama yang paling berpengaruh pada era kritik sastra post-strukturalis adalah seorang filsuf perancis Jacques Derrida. Selain itu, buah karya pemikiran psikoanalis Jacques Lacan dan ahli teori kebudayaan Michael Foucault juga berperan penting dalam kemunculan post strukturalisme tersebut.
Derrida menekankan “logosentrime” (berpusat pada logos) pemikiran barat bahwa makna dipahami sebagai independensi bahasa yang dikomunikasikan dan tidak tunduk pada permainan bahasa. Derrida sepakat dengan Saussure bahwa bahasa merupakan produk yang berbeda antar penanda, tapi dia berpikir melampaui Saussure dalam menegaskan bahwa dimensi sesaat (temporal dimension) tak dapat ditinggalkan.
Derrida menilai bahwa Saussure tak dapat membebaskan dirinya dari pandangan logosentris, sejak ia mengunggulkan bahasa di atas tulisan. Derrida percaya bahwa penanda (signs) dan petanda (signified) dapat digabung ke dalam tahapan yang sama dalam praktek tindak tutur (act of speaking).
Derrida menyerang pandangan logosentrisme dan menilai bahwa tulisan merupakan model yang lebih baik untuk memahami bagaimana bahasa berfungsi. Dalam tulisan, penanda selalu produktif, mengenalkan aspek sesaat ke dalam penandaan yang menentukan berbagai penggabungan antara sign dan signified.
Perumusan dasar “differance” Derrida disusun dengan mempermainkan pada kata perancis ‘difference’, yang dapat berarti ‘pertentangan’ dan “penundaan”, merusak logonsentrisme dengan menyatakan bahwa makna tak pernah dapat mewakili seluruhnya karena makna tersebut selalu ditangguhkan. Praktik “dekonstruksi ”**-nya ini berdasar pada teks yang dia teliti yang berpengaruh besar pada kritik sastra, misalnya pada New Criticsm.
Essainya yang berjudul “Structure, Sign, and Play in the Discourse of the Human Sciences” , pertama kali disampaikan di John Hopkins University pada tahun 1966, sangat berpengaruh dalam teori kritik sastra.
Essay Roland Barthes, “The Death of the Author” pertama kali dipublikasikan pada tahun 1968, mengadopsi sebuah pandangan tekstual bahasa dan makna secara radikal dan dengan jelas menunjukkan perannya dalam post strukturalis.
Pemikiran post strukturalis juga berkembang di di Amerika pada tahun 1970-an, khususnya di kalangan kritikus yang tinggal di Yale, atau disebut para dekonstrusionis Yale. Teoritikus terkemuka Yale adalah Paul de Man yang berpendapat bahwa teks sastra telah tergabung dengan “pertentangan” Derrida.
De Man berpendapat bahwa ada devisi radikal dalam teks sastra antara gramatikal atau struktur logika bahasa dan aspek retorisnya. Hal ini menciptakan sebuah signifikansi (penandaan) dalam teks sastra yang pada akhirnya tak dapat ditentukan. De Man berpendapat bahwa sastra digabungkan oleh permainan (play) yang tak dapat ditentukan secara gramatikal dan retoris dalam teks dan tidak dengan pertimbangan estetis.Edward W Said menerima pandangan post strukturalis tapi menolak pada apa yang dia lihatnya sebagai pendekatan tekstual sempit ala Derrida. Dia berpendapaat bahwa karya Foucault memungkinkan kritik sastra melampaui dimensi sosial dan politis teks.
Catatan:
* Ferdinand de Saussure, 1857-1913, dari sinilah kemudian berkembang “gerakan” strukturalisme Prancis. Sebagaimana filsuf Prancis sezamannya, filsafat Derrida tak lepas dari linguistik, terutama linguistik modern yang diperkenalkan Ferdinand de Saussure.
** Konsep dekonstruksinya (Derrida sendiri menolak merumuskan dekonstruksi sebagai konsep, teori, atau semacamnya) telah mewarnai wacana pemikiran di berbagai bidang, dari sastra hingga tata busana, dari senirupa hingga arsitektur. Dekonstruksi selalu menyertai wacana pemikiran filsafat kontemporer seperti struturalisme, pascastrukturalisme, pasacamodernisme, pascakolonialisme, teori kritis, dan kritik baru (new criticism).


MAKNA LEKSIKAL DARI SUDUT PANDANG SINGKRONIK DAN DIAKRONIK

Dapat dibedakan tiga komponen dalam makna leksikal (Maslov, 1987): (a)hubungan dengan denotasi; (b) hubungan dengan kategori logik; (c) hubungandengan makna konseptual dan makna konotatif dengan perkataan lain dalam rangka kerja sistem leksikal yang sepadan. Masalah penting semantik sinkronik merujuk kepada hubungan makna pusat dan makna pinggiran. Beberapa banyak ahli bahasa berbicara tentang makna bebas dan makna bersandar. Saya mengikut penggunan ini karena ia nampaknya mencerminkan hakikat sebenarnya. Struktur semantik setiap perkataan polisemantik merupakan hasil
perkembangan yang panjang. Kajian perkembangan ini merupakan masalah utama semantik sejarah dan diakronik.Satu dari pada hukum umum yang terkenal dalam perkembangan semantik ialah perubahan dari pada konkrit kepada abstrak. Dalam tulisan ini beberapa contoh dari pada bahasa Bulgaria, Rusia, Iran, Greek, dan sebagainya.

Teori Ferdinand de Saussure penting secara asasi bagi perkembangaan semantik. Pertama karena adanya konsepsi beliau tentang tanda linguistik. Makna merupakan ramuan yang perlu bagi tanda linguistik, signifie lawan 'auditif atau akustik imej', yaitu Signifiant. Hari ini terdapat beberapa takrifan makna yang berlainan, tetapi Saussure tidak boleh diabaikan. Satu lagi sumbangan teori linguistic Saussure merujuk kepada pertimbangan bahasa dari sudut pandangan sinkronik dan diakronik. Kesahihan dikotomi ini diketahui untuk semua aras bahasa, termasuk aras semantik.

Masalah yang berikut, yang telah diselediki secara intensif oleh ahli bahasa ahli psikologi, ahli falsafah, dansebagainya, tergolong dalam aras sinkronik :
(1). Sifat makna sebagai fenomena linguistik dan hubungannya dengan konsep
sebagai kategori logikal;
(2). Hubungan makna leksikal lawan makna struktural (atau tatabahasa); makna leksikal dan rujukan dalam masalah kata nama, kata kerja, kata sifat, adverba, (yang dinamakan Offene klasse "kelas terbuka") dan dalam masalah makna struktural yang dikaitkan dengan kelas tertutup kategori tatabahasa dan hubungan (kasus, modus, aspek, bandingan, dan sebagainya);
(3). Hubungan semantik perkataan (yaitu; semantik leksikal Wortsemantik) dengan semantik kalimat;
(4). Kategori semantik dalam rangka kerja morfosintaksis.
(5). Masalah polisemi dan perkataan.

Topik tulisan ini terbatas pada makna leksikal. Antara takrif berlainan idea ini, saya mengikut takrif yaug diberikan oleh ahli bahasa Soviet, Maslov (1987:90): "Rujukan terhadap satu kandugan tertentu, yaug spesifik bagi satu perkataan hanya sebagai perbedaan dengan semua perkataan lain, dinamakan makna leksikal". Seperti yang kita ketahui, makna leksikal biasanya sarna dalam semua bentuk tatabahasa (dalam semua aloleks) perkataan termasuk bentuk analitis atau deskriptif, yaitu ia tergolong dalam leksem.

2003 Digital by USU digital library 2
Menurut Maslov (1987:91) kita dapat membedakan tiga komponen dalam
makna leksikal :
(1). Hubungan dengan denotasi. Inilah yang dinamakan rujukan objek perkataan (bahasa Rusia : predmetnaja otuesennost' slova);
(2). Hubungan dengan kategori logik, terutama dengan konsep, yaitu rujukan konsep (bahasa Rusia : ponjatijnaja otnesennost');
(3). Hubungan dengan makna konseptual dan makna konotatif perkataan lain dalam rangka kerja sistem leksikal yang sepadan. Aspek makna ini kadangkala dinamakan valeur dalam bahasa Prancis (bahasa Rusia : znacimost').

Suatu masalah penting semantik sinkronik memperkatakan hubungan makna pokok (asas) (Hauptbedutung) dan makna skunder tambahan yang sisian (pinggiran) (bahasa Rusia : vtorostepennoje, dopolnitel'noje znacenie). Hjelmslev (1961 : 28) mendakwa bahwa tidak ada tanda yang mempunyai makna "dalam pengasingan mutlak". Menurut beliau makna berasal pertamanya dalam konteks situasi atau konteks eksplisit. Pandangan yang bertentangan dipegang oleh kebanyakan ahli bahasa, yaitu bahwa perkataan mempunyai makna teras atau makna asas dalam sistem bahasa bebas dari pada konteks (bahasa Jerman: kontextunabhängig). Lihat Kurylowicz (1955), Pike (1960), Harmann (1965), Ullman (1967), Brekle (1972), dan sebagainya Maslov (1987 : 102-103) berbicara tentang makna bebas perkataan dan makna bersandar masing-masing, dengan makna yang kemudian terjadi dalam teks. Saya bersetuju dengan analisis ini yang nampaknya mencerminkan hakikat yang sebenarnya. Sebagai contoh, jika kita mendengar perkataan Inggeris apple, street, go, window di luar teks, kita dapat menentukan makna leksikal masing-masing kata tanpa ragu-ragu, yang berupa makna asas (pokok). Yang sama juga benar bagi perkataan Rusia yang sepadan jabloko "apple", ulica "street", itti" go", okno "window". Bagaimanapun ada masalah apabila makna asa perkataan Inggeris tidak dapat dipahami tanpa konteks, sebagai contoh, green (adj. atau Subst) ketimbang perkataan Rusia zel'onyj "green", yang berautonomi dari segi semantik.
Struktur semantik perkataan, yang kita boleh katakan sebagai semen, mewakili kuantiti makna (alosem), makna asas dan makna sebilangan makna terbitan. Semen sepadan dengan leksem sebagai mikrokosme pada paksi paradigma. Dalam parole, semen direalisasikan bersama-sama alosem. Huraian semen tergolong dalam semantik sinkronik. Satu kaedah huraian adalah analisis komponen, yang didasarkan pada prinsip logik. Kaedah huraian semen belum lagi digunakan dalam kamus.

Struktur semantik setiap perkataan polisemantik merupakan hasil perkembangan yang panjang, melewati beberapa abad. Kajian perkembangan ini merupakan tugas utama semantik sejarah, atau kajian perubahan makna mengikut masa. Dalam peristilahan Saussure ini dinamakan semantik diakronik. Sebenarnya semantik diakronik berkaitan dengan perkembangan semen perkataan individu. Semantik sejarah berkaitan dengan perkembangan subsistem semantik. Adalah menakjubkan bahwa istilah semantik pertama kali digunakan untuk merujuk kepada perkembangan dan perubahan makna. Disini saya ingin memperlihatkan masalah penting semantik sejarah sehubungan dengan linguisti umum: adakah terdapat hukum-hukum umum dalam perkembangan semantik atau tidak? Ia merupakan perkara remeh untuk menyebutkan perubahan makna dari pada konkrit kepada abstrak. Sebagai contoh bahasa Bulgaria griza "care", dari pada griz'a "nibble"; bahasa Iran Kuno suxra "red" memberikan akar suk- "fire'; to burn (Abaev, 1956: 292); Bulgaria Kuno goresti "bitterness", bahasa Bulgaria gorest "sorrow" kepada akar gor- dalam bahasa Bulgaria Kuno ,goresti to burn", dan akar yang sama dalam bahasa Bulgaria gorak "bitter", bahasa Rusia gor'kij, bahasa Serbo-Cr. gorak. Dalam bahasa Bulgaria gorak juga bermaksud "misereble, por, unfortunate", Osset. Arf

2003 Digital by USU digital library 3
"deep" kepada Iran Kuno *apra- dari pada ap- "water", dengan itu "depth" ("water depth"; bahasa Rusia krutoj "steep" kepada Lit. krantas "river bank" (Abaev, 1956 : 292). Contoh-contoh ini juga menunjukan kepada kekoherenan sempit antara semantik diakronik dengan etimologi. Salah satu tugas etimologi adalah untuk menemukan sufat yang bertindak sebagai kelahiran sesuatu perkataan, yaitu apa yang dinamakan makna etimologi (dalam peristilahan golongan Neogramarian dieinnere Form). Sebagai contoh, lit. karve "caw", Bulgaria Kuno krava Bulgaria krava, "caw", bahasa Poland Kuno karw (krwo-s) "old ox" mengandungi akar I.E. *ker- "upper part of the body; head; horn; summit". Antara makna terbina semula ini kita menemukan "horn" dan dari pada itu kita sampai kepada "caw", "old ox" atau "stag", hewan bertanduk (bahasa Jerman gehornte Tiere). Bandingkan bahasa Greek keras "horn" dan keraos "with horns".

Makna etimologi telah dibina semula berdasarkan perkataan teratur dalam teks lama bahasa-bahasa Indo-Eropah. Penyelidikan etimologi mesti dalam masalah ini menyingkirkan makna-makna yang mungkin sebagai perkembangan yang sudah lewat. Sebagai contoh, perkataan untuk kata "mother" dalam bahasa-bahasa Indo-Eropah : I.E. *mater, yang berasal dari pada perkataan raban (bahasa Jerman Lallwort) telah mengekalkan makna kata ini ke dalam Olnd. Matar-,Av,-matar -, Greek meter, Dor. mater, Phryg. matar, materan, Lat. Mater (-tris), Bulgaria Tua mati (-ere), OHG muoter, Lett mate, Iran Kuno mathir, Arm. mair; tetapi dalam bahasa Albania, perkataan ti sepadan motre yang bermakna "sister" Coba lihat (Pokorny, 1959 : 700) "die ltere, Mutterstelle vertretende Schwester", dan dalam Lit. mote (Gen. moters) yang mempunyai makna dalam bahasa Ingerisnya adalah "women, and wife" dan juga di dalam bahasa Latinnya yang bermakna dari pada perkataan mater, kata tersebut telah di telusuri mempunyai dua makna yang baru ; yakni "amme" yang di dalam bahasa Inggerisnya mempunyai makna adalah "wet nurse" dan juga mempunyai makna yang sepadan di dalam bahasa Inggeris dengan sebuah perkataan yakni "source". Jadi keselarian (kesesuaian) semantik sangatlah penting sekali dalam setiap kajian etimologi. Sebagai contoh, di dalam bahasa Inggeris perkataan dari pada "town" setelah diselidiki bahwa kata tersebut mempunyai kaitan dengan bahasa Jerman, yaitu kata tersebut sepadan dengan perkataan yang terdapat di Jerman "zaun", sedangkan makna yang sepadan dengan perkataan di Inggeris adalah sebuah perkataan "fence" dan kata kerjanya setelah diselidiki adalah "zaunen" di dalam bahasa Jerman, juga telah diselidiki di dalam bahasa Inggerisnya perkataan tersebut ketika menjadi sebuah kata kerja menjadi sebuah perkataan "to fence". Sebenarnya ini adalah yang merupakan sebuah makna etimologi atau (die innere Form) yang mana telah penulis jelaskan di atas tadinya. Sebagai suatu tafsiran yang disebut di dalam bahasa Inggris sebuah perkataan dari pada kata "town" setelah diselediki telah mempunyai padanan dan kesamaan semantik yang sangat baik sekali di dalam bahasa Slavik: adalah salah satu dari pada bahasa Bulgaria Kuno dengan perkataannya adalah gradu, yang mempunyai makna yang sepadan di dalam bahasa Inggeris yakni dari sebuah perkataan yang mempunyai makna yang sama ialah kata "town", sedangkan di dalam bahasa Bulgaria perkataan tersebut sudah dikenal dengan kata grad, dan di dalam bahasa Rusia dikenal dengan perkataan tersebut gorod, yang berarti mempunyai makna di dalam bahasa Inggrisnya adalah juga "town", sedangkan sebagaimana yang tergolong didalam bahasa Bulgaria Konu ograditi adalah masuk ke dalam golongan kata kerja, yang di dalam bahasa Inggrisnya mempunyai makna menjadi "to fence". Ini semua adalah sejarah etimologi dari sebuah perkataan yang ada di daerah Indo-Eropah, dari pada hasil penyelidikan para ahli bahasa khususnya dibidang etimologi pada waktu itu berdasarkan leteratur yang saya ketemukan bahwa penyebab itu semua karena pada Zaman Pertenghan yang mana kota-kota sedang dipagari. Sehingga penyelidikan

2003 Digital by USU digital library 4
mengenai perjalan sejarah etimilogi didaratan Indo-Eropah sangat terhambat untuk dilaksanakan.Kajian tentang makna leksikal adalah salah satu jenis-jenis kajian makna yang ada dasarnya mempunyai andil yang sangat penting. Sebab makna leksikal juga menjadi dasar dari pada perubahan makna yaitu kajian sejarah etimologi bagii setiap perkembangan setiap bahasa yang terdapat di dunia ini. Di dalam kajian makna kita tidak luput dari pada sub bagian yang terpenting sekali, yakni tentang perubahan makna suatu perkataan dalam satu bahasa yang ada. Kita juga dapat melihat perubahan makna tersebut dari apa yang telah dinamakan etimologi rakyat, sebagaimana tanggapan kita tentang etimologi rakyat itu sekarang ini diartikan dengan 'pentafsiran semula'. Di dalam tulisan ini menulis akan memberikan satu contoh perkataan yang berasal dari pada bahasa Latin.
Perkataan yang berasal dari bahasa Latin tersebut para ahli bahasa dan sejarah etimologi adalah sebuah perkataan yang selalu dipergunakan oleh masyarakat setempat, dan telah diselidiki ternyata kata periculum mempunyai persamaan maknanya di dalam bahasa Inggris yakni ; "danger", sedangkan di dalam bahasa Inggris sendiri perkataan tersebut telah mempunyai padanan maknanya yangasalnya bermaksud dengan perkataan "ettempt, trial, venture, experience" dan '" kata-kata tersebut adalah berasal dari pada kata experiri yang mempunyai makna sesungguhnya adalah "to attempt, to try", juga berasal dari kata peritus yang mempunyai makna "competent". Kemudian, perkataan ini dihubungkan sebagai akibat tafsiran kepada perkataan bahasa Latin perire menjadi "perish" dan memperoleh makna baru "danger, a risky business or enterprise". (pisani, 1967: 150-151; terjemahan saya: I.D.).

KESIMPULAN
Kajian makna leksikal dari sudut pandangan singkronik dan diakronik merupakan suatu kajian yang sangat menarik untuk diteliti dalam rangka untuk sumbangan yang sangat berharga bagi perkembangan ilmu linguistik dibidang semantik, karena makna leksikal adalah sebagai salah satu asas yang terpenting untuk kajian perubahan makna yang lagi hangat-hangatnya dibidang linguistic (semantik) untuk pengembangan ilmu makna.

semiotik

Semiotik atau semiologi merupakan terminologi yang merujuk pada ilmu yang sama. Istilah semiologi lebih banyak digunakan di Eropa sedangkan semiotik lazim dipakai oleh ilmuwan Amerika. Istilah yang berasal dari kata Yunani semeion yang berarti ‘tanda’ atau ‘sign’ dalam bahasa Inggris itu adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda seperti: bahasa, kode, sinyal, dan sebagainya. Secara umum, semiotik didefinisikan sebagai berikut.
Semiotics is usually defined as a general philosophical theory dealing with the production of signs and symbols as part of code systems which are used to communicate information. Semiotics includes visual and verbal as well as tactile and olfactory signs (all signs or signals which are accessible to and can be perceived by all our senses) as they form code systems which systematically communicate information or massages in literary every field of human behaviour and enterprise. (Semiotik biasanya didefinisikan sebagai teori filsafat umum yang berkenaan dengan produksi tanda-tanda dan simbol-simbol sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk mengomunikasikan informasi. Semiotik meliputi tanda-tanda visual dan verbal serta tactile dan olfactory [semua tanda atau sinyal yang bisa diakses dan bisa diterima oleh seluruh indera yang kita miliki] ketika tanda-tanda tersebut membentuk sistem kode yang secara sistematis menyampaikan informasi atau pesan secara tertulis di setiap kegiatan dan perilaku manusia).

Awal mulanya konsep semiotik diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure melalui dikotomi sistem tanda: signified dan signifier atau signifie dan significant yang bersifat atomistis. Konsep ini melihat bahwa makna muncul ketika ada hubungan yang bersifat asosiasi atau in absentia antara ‘yang ditandai’ (signified) dan ‘yang menandai’ (signifier). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi, penanda adalah aspek material dari bahasa yaitu apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi, petanda adalah aspek mental dari bahasa (Bertens, 2001:180). Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa dan karena itu tidak merupakan tanda. Sebaliknya, suatu petanda tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari penanda; petanda atau yang dtandakan itu termasuk tanda sendiri dan dengan demikian merupakan suatu faktor linguistik. “Penanda dan petanda merupakan kesatuan seperti dua sisi dari sehelai kertas,” kata Saussure. Louis Hjelmslev, seorang penganut Saussurean berpandangan bahwa sebuah tanda tidak hanya mengandung hubungan internal antara aspek material (penanda) dan konsep mental (petanda), namun juga mengandung hubungan antara dirinya dan sebuah sistem yang lebih luas di luar dirinya. Bagi Hjelmslev, sebuah tanda lebih merupakan self-reflective dalam artian bahwa sebuah penanda dan sebuah petanda masing-masing harus secara berturut-turut menjadi kemampuan dari ekspresi dan persepsi. Louis Hjelmslev dikenal dengan teori metasemiotik (scientific semiotics). Sama halnya dengan Hjelmslev, Roland Barthes pun merupakan pengikut Saussurean yang berpandangan bahwa sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Semiotik, atau dalam istilah Barthes semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak dikomunikasikan, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Salah satu wilayah penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktivan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara lugas mengulas apa yang sering disebutnya sebagai sistem pemaknaan tataran ke-dua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. sistem ke-dua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam buku Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotative atau sistem pemaknaan tataran pertama.
Read More..

NILAI DASAR PERGERAKAN (NDP) PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA (PMII)

MUKADDIMAH
Berkat rahmat dan hidayah Allah SWT, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia berusaha menggali sumber nilai dan potensi insan warga pergerakan untuk dimodifikasi di dalam tatanan nilai baku yang kemudian menjadi citra diri yang diberi nama Nilai Dasar Pergerakan (NDP) PMII. Hal ini dibutuhkan di dalam memberikan kerangka, arti dan motivasi dan wawasan pergerakan dan sekaligus memberikan dasar pembenar terhadap apa saja yang akan dan mesti dilakukan untuk mencapai cita-cita perjuangan sesuai dengan maksud didirikannya organisasi ini.
Insaf dan sadar bahwa semua itu adalah kejarusan bagi setiap fungsionaris maupun anggota PMII untuk....

memahami dan menginternalisasikan nilai dasar PMII itu, baik secara orang perorang maupun bersama-sama.

BAB I
ARTI, FUNGSI, DAN KEDUDUKAN
1. Arti :
Secara esensial Nilai Dasar Pergerakan ini adalah suatu sublimasi nilai ke-Islaman dan ke-Indonesiaan dengan kerangka pemahaman keagamaan Ahlussunnah wal jama’ah yang menjiwai berbagai aturan, memberi arah dan mendorong serta penggerak kegiatan-kegiatan PMII. Sebagai pemberi keyakinan dan pembenar mutlak, Islam mendasari dan menginspirasi Nilai Dasar Pergerakan ini meliputi cakupan aqidah, syari’ah dan akhlak dalam upaya kita memperoleh kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat. Dalam upaya memahami, menghayati dan mengamalkan Islam tersebut, PMII menjadikan Ahlussunnah wal jama’ah sebagai pemahaman keagamaan yang paling benar.
2. Fungsi :
i. Landasan berpijak:
Bahwa NDP menjadi landasan setiap gerak langkah dan kebijakan yang harus dilakukan.
ii. Landasan berpikir :
Bahwa NDP menjadi landasan pendapat yang dikemukakan terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi.
iii. Sumber motivasi :
Bahwa NDP menjadi pendorong kepada anggota untuk berbuat dan bergerak sesuai dengan nilai yang terkandung di dalamnya.
3. Kedudukan :
i. Rumusan nilai-nilai yang seharusnya dimuat dan menjadi aspek ideal dalam berbagai aturan dan kegiatan PMII.
ii. Landasan dan dasar pembenar dalam berpikir, bersikap, dan berprilaku.

BAB II
RUMUSAN NILAI DASAR PERGERAKAN
1. TAUHID :
Meng-Esakan Allah SWT, merupakan nilai paling asasi yang dalam sejarah agama samawi telah terkandung sejak awal keberadaan manusia.
Allah adalah Esa dalam segala totalitas, dzat, sifat-sifat, dan perbutan-perbuatan-Nya. Allah adalah dzat yang fungsional. Allah menciptakan, memberi petunjuk, memerintah, dan memelihara alam semesta ini. Allah juga menanamkan pengetahuan, membimbing dan menolong manusia. Allah Maha Mengetahui, Maha Menolong, Maha Bijaksana, Hakim, Maha Adil, dan Maha Tunggal. Allah Maha Mendahului dan Maha Menerima segala bentuk pujaan dan penghambaan.
Keyakina seperti itu merupakan keyakinan terhadap sesuatu yang lebih tinggi dari pada alam semesta, serta merupakan kesadaran dan keyakinan kepada yang ghaib. Oleh karena itu, tauhid merupakan titik puncak, melandasi, memadu, dan menjadi sasaran keimanan yang mencakup keyakinan dalam hati, penegasan lewat lisan, dan perwujudan dalam perbuatan. Maka konsekuensinya Pergerakan harus mampu melarutkan nilai-nilai Tauhid dalam berbagai kehidupan serta terkomunikasikan dan merambah ke sekelilingnya. Dalam memahami dan mewujudkan itu, Pergerakan telah memiliki Ahlussunnah wal jama'ah sebagai metode pemahaman dan penghayatan keyakinan itu.

2. HUBUNGAN MANUSIA DENGAN ALLAH.
Allah adalah Pencipta segala sesuatu. Dia menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baik kejadian dan menganugerahkan kedudukan terhormat kepada manusia di hadapan ciptaan-Nya yang lain.
Kedudukan seperti itu ditandai dengan pemberian daya fikir, kemampuan berkreasi dan kesadaran moral. Potensi itulah yang memungkinkan manusia memerankan fungsi sebagai khalifah dan hamba Allah. Dalam kehidupan sebagai khalifah, manusia memberanikan diri untuk mengemban amanat berat yang oleh Allah ditawarkan kepada makhluk-Nya. Sebagai hamba Allah, manusia harus melaksanakan ketentuan-ketentauan-Nya. Untuk itu, manusia dilengkapi dengan kesadaran moral yang selalu harus dirawat, jika manusia tidak ingin terjatuh ke dalam kedudukan yang rendah.
Dengan demikian, dalam kehidupan manusia sebagai ciptaan Allah, terdapat dua pola hubungan manusia dengan Allah, yaitu pola yang didasarkan pada kedudukan manusia sebagai khalifah Allah dan sebagai hamba Allah. Kedua pola ini dijalani secara seimbang, lurus dan teguh, dengan tidak menjalani yang satu sambil mengabaikan yang lain. Sebab memilih salah satu pola saja akan membawa manusia kepada kedudukan dan fungsi kemanusiaan yang tidak sempurna. Sebagai akibatnya manusia tidak akan dapat mengejawentahkan prinsip tauhid secara maksimal.
Pola hubungan dengan Allah juga harus dijalani dengan ikhlas, artinya pola ini dijalani dengan mengharapkan keridloan Allah. Sehingga pusat perhatian dalam menjalani dua pola ini adalah ikhtiar yang sungguh-sungguh. Sedangkan hasil optimal sepenuhnya kehendak Allah. Dengan demikian, berarti diberikan penekanan menjadi insan yang mengembangkan dua pola hubungan dengan Allah. Dengan menyadari arti niat dan ikhtiar, sehingga muncul manusia-manusia yang berkesadaran tinggi, kreatif dan dinamik dalam berhubungan dengan Allah, namun tetap taqwa dan tidak pongah Kepada Allah.
Dengan karunia akal, manusia berfikir, merenungkan dan berfikir tentang ke-Maha-anNya, yakni ke-Mahaan yang tidak tertandingi oleh siapapun. Akan tetapi manusia yang dilengkapi dengan potensi-potensi positif memungkinkan dirinyas untuk menirukan fungsi ke-Maha-anNya itu, sebab dalam diri manusia terdapat fitrah uluhiyah - fitrah suci yang selalu memproyeksikan tentang kebaikan dan keindahan, sehingga tidak mustahil ketika manusia melakukan sujud dan dzikir kepadaNya, Manusia berarti tengah menjalankan fungsi Al Quddus. Ketika manusia berbelas kasih dan berbuat baik kepada tetangga dan sesamanya, maka ia telah memerankan fungsi Arrahman dan Arrahim. Ketika manusia bekerja dengan kesungguhan dan ketabahan untuk mendapatkan rizki, maka manusia telah menjalankan fungsi Al Ghoniyyu. Demikian pula dengan peran ke-Maha- an Allah yang lain, Assalam, Al Mukmin, dan lain sebagainya. Atau pendek kata, manusia dengan anugrah akal dan seperangkat potensi yang dimilikinya yang dikerjakan dengan niat yang sungguh-sungguh, akan memungkinkan manusia menggapai dan memerankan fungsi-fungsi Asma'ul Husna.
Di dalam melakukan pekerjaannya itu, manusia diberi kemerdekaan untuk memilih dan menentukan dengan cara yang paling disukai. 14) Dari semua pola tingkah lakunya manusia akan mendapatkan balasan yang setimpal dan sesuai yang diupayakan, karenanya manusia dituntut untuk selalu memfungsikan secara maksimal kemerdekaan yang dimilikinya, baik secara perorangan maupun secara bersama-sama dalam konteks kehidupan di tengah-tengah alam dan kerumunan masyarakat, sebab perubahan dan perkembangan hanyalah milikNya, oleh dan dari manusia itu sendiri.15)
Sekalipun di dalam diri manusia dikaruniai kemerdekaan sebagai esensi kemanusiaan untuk menentukan dirinya, namun kemerdekaan itu selalu dipagari oleh keterbatasan-keterbatasan, sebab perputaran itu semata-mata tetap dikendalaikan oleh kepastian-kepastian yang Maha Adil lagi Maha Bijaksana,yang semua alam ciptaanNya ini selalu tunduk pada sunnahNya, pada keharusan universal atau takdir. 16 ) Jadi manusia bebas berbuat dan berusaha ( ikhtiar ) untuk menentukan nasibnya sendiri, apakah dia menjadi mukmin atau kafir, pandai atau bodoh, kaya atau miskin, manusia harus berlomba-lomba mencari kebaikan, tidak terlalu cepat puas dengan hasil karyanya. Tetapi harus sadar pula dengan keterbatasan- keterbatasannya, karena semua itu terjadi sesuai sunnatullah, hukum alam dan sebab akibat yang selamanya tidak berubah, maka segala upaya harus diserrtai dengan tawakkal. Dari sini dapat dipahami bahwa manusia dalam hidup dan kehidupannya harus selalu dinamis, penuh dengan gerak dan semangat untuk berprestasi secara tidak fatalistis. Dan apabila usaha itu belum berhasil, maka harus ditanggapi dengan lapang dada, qona'ah (menerima) karena disitulah sunnatullah berlaku. Karenanya setiap usaha yang dilakukan harus disertai dengan sikap tawakkal kepadaNya. 17 )

3. HUBUNGAN MANUSIA DENGAN MANUSIA
Kenyataan bahwa Allah meniupkan ruhNya kepada materi dasar manusia menunjukan , bahwa manusia berkedudukaan mulia diantara ciptaan-ciptaan Allah.
Memahami ketinggian eksistensi dan potensi yang dimiliki manusia, anak manusia mempunyai kedudukan yang sama antara yang satu dengan yang lainnya. Sebagai warga dunia manusia adalah satu dan sebagai warga negara manusia adalah sebangsa , sebagai mukmin manusia adalah bersaudara. 18)
Tidak ada kelebihan antara yang satu dengan yang lainnya , kecuali karena ketakwaannya. Setiap manusia memiliki kekurangan dan kelebihan, ada yang menonjol pada diri seseorang tentang potensi kebaikannya , tetapi ada pula yang terlalu menonjol potensi kelemahannya, agar antara satu dengan yang lainnya saling mengenal, selalu memadu kelebihan masing-masing untuk saling kait mengkait atau setidaknya manusia harus berlomba dalam mencari dan mencapai kebaikan, oleh karena itu manusia dituntut untuk saling menghormati, bekerjasama, tolong menolong, menasehati, dan saling mengajak kepada kebenaran demi kebaikan bersama.
Manusia telah dan harus selalu mengembangkan tanggapannya terhadap kehidupan. Tanggapan tersebut pada umumnya merupakan usaha mengembangkan kehidupan berupa hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Dengan demikian maka hasil itu merupakan budaya manusia, yang sebagian dilestarikan sebagai tradisi, dan sebagian diubah. Pelestarian dan perubahan selalu mewarnai kehidupan manusia. Inipun dilakukan dengan selalu memuat nilai-nilai yang telah disebut di bagian awal, sehingga budaya yang bersesuaian bahkan yang merupakan perwujudan dari nilai-nilai tersebut dilestarikan, sedang budaya yang tidak bersesuaian diperbaharui.
Kerangka bersikap tersebut mengisyaratkan bergerak secara dinamik dan kreatif dalam kehidupan manusia. Manusia dituntut untuk memanfaatkan potensinya yang telah dianugerahkan oleh Allah SWT. Melalui pemanfaatan potensi diri itu justru manusia menyadari asal mulanya, kejadian, dan makna kehadirannya di dunia.
Dengan demikian pengembangan berbagai aspek budaya dan tradisi dalam kehidupan manusia dilaksanakan sesuai dengan nilai dalam hubungan dengan Allah, manusia dan alam selaras dengan perekembangan kehidupandan mengingat perkembangan suasana. Memang manusia harus berusaha menegakan iman, taqwa dan amal shaleh guna mewujudkan kehidupan yang baik dan penuh rahmat di dunia. Di dalam kehidupan itu sesama manusia saling menghormati harkat dan martabat masing-masing , berderajat, berlaku adil dan mengusahakan kebahagiaan bersama. Untuk diperlukan kerjasama yang harus didahului dengan sikap keterbukaan, komunikasi dan dialog antar sesama. Semua usaha dan perjuangan ini harus terus -menerus dilakukan sepanjang sejarah.
Melalui pandangan seperti ini pula kehidupan bermasyarakat,berbangsa dan bernegara dikembangkan. Kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara merupakan kerelaan dan kesepakatan untuk bekerja sama serta berdampingan setara dan saling pengertian. Bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dimaksudkan untuk mewujudkan cita-cita bersama : hidup dalam kemajuan, keadilan, kesejahteraan dan kemanusiaan. Tolok ukur bernegara adalah keadilan, persamaan hukum dan perintah serta adanya permusyawaratan.
Sedangkan hubungan antara muslim dan non muslim dilakukan guna membina kehidupan manusia dengan tanpa mengorbankan keyakinan terhadap universalitas dan kebenaran Islam sebagai ajaran kehidupan paripurna. Dengan tetap berpegang pada keyakinan ini, dibina hubungan dan kerja sama secara damai dalam mencapai cita-cita kehidupan bersama ummat manusia.
Nilai -nilai yang dikembangkan dalam hubungan antar manusia tercakup dalam persaudaraan antar insan pergerakan , persaudaraan sesama Islam , persaudaraan sesama warga bangsa dan persaudaraan sesama ummat manusia . Perilaku persaudaraan ini , harus menempatkan insan pergerakan pada posisi yang dapat memberikan kemanfaatan maksimal untuk diri dan lingkungan persaudaraan.

4. HUBUNGAN MANUSIA DENGAN ALAM
Alam semesta adalah ciptaan Allah SWT. 19) Dia menentukan ukuran dan hukum-hukumnya.20) Alam juga menunjukan tanda-tanda keberadaan, sifat dan perbuatan Allah. 21) Berarti juga nilai tauhid melingkupi nilai hubungan manusia dengan alam .
Sebagai ciptaan Allah, alam berkedudukan sederajat dengan manusia. Namun Allah menundukan alam bagi manusia , 22) dan bukan sebaliknya . Jika sebaliknya yang terjadi, maka manusia akan terjebak dalam penghambaan terhadap alam , bukan penghambaan terhadap Allah. Karena itu sesungguhnya berkedudukan sebagai khalifah di bumi untuk menjadikan bumi maupun alam sebagai obyek dan wahana dalam bertauhid dan menegaskan dirinya. 23)
Perlakuan manusia terhadap alam tersebut dimaksudkan untuk memakmurkan kehidupan di dunia dan diarahkan kepada kebaikan di akhirat, 24) di sini berlaku upaya berkelanjutan untuk mentransendensikan segala aspek kehidupan manusia. 25) Sebab akhirat adalah masa masa depan eskatologis yang tak terelakan . 26) Kehidupan akhirat akan dicapai dengan sukses kalau kehidupan manusia benar-benar fungsional dan beramal shaleh. 27)
Kearah semua itulah hubungan manusia dengan alam ditujukan . Dengan sendirinya cara-cara memanfaatkan alam , memakmurkan bumi dan menyelenggarakan kehidupan pada umumnya juga harus bersesuaian dengan tujuan yang terdapat dalam hubungan antara manusia dengan alam tersebut. Cara-cara tersebut dilakukan untuk mencukupi kebutuhan dasar dalam kehidupan bersama. Melalui pandangan ini haruslah dijamin kebutuhan manusia terhadap pekerjaan ,nafkah dan masa depan. Maka jelaslah hubungan manusia dengan alam merupakan hubungan pemanfaatan alam untuk kemakmuran bersama. Hidup bersama antar manusia berarti hidup dalam kerja sama , tolong menolong dan tenggang rasa.
Salah satu hasil penting dari cipta, rasa, dan karsa manusia yaitu ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Manusia menciptakan itu untuk memudahkan dalam rangka memanfaatkan alam dan kemakmuran bumi atau memudahkan hubungan antar manusia . Dalam memanfaatkan alam diperlukan iptek, karena alam memiliki ukuran, aturan, dan hukum tertentu; karena alam ciptaan Allah bukanlah sepenuhnya siap pakai, melainkan memerlukan pemahaman terhadap alam dan ikhtiar untuk mendayagunakannya.
Namun pada dasarnya ilmu pengetahuan bersumber dari Allah. Penguasaan dan pengembangannya disandarkan pada pemahaman terhadap ayat-ayat Allah. Ayat-ayat tersebut berupa wahyu dan seluruh ciptaanNya. Untuk memahami dan mengembangkan pemahaman terhadap ayat-ayat Allah itulah manusia mengerahkan kesadaran moral, potensi kreatif berupa akal dan aktifitas intelektualnya. Di sini lalu diperlukan penalaran yang tinggi dan ijtihad yang utuh dan sistimatis terhadap ayat-ayat Allah, mengembangkan pemahaman tersebut menjadi iptek, menciptakan kebaruan iptek dalam koteks ke,manusiaan, maupun menentukan simpul-simpul penyelesaian terhadap masalah-masalah yang ditimbulkannya. Iptek merupakan perwujudan fisik dari ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia, terutama digunakan untuk memudahkan kehidupan praktis.
Penciptaan, pengembangan dan penguasaan atas iptek merupakan keniscayaan yang sulit dihindari. Jika manusia menginginkan kemudahan hidup, untuk kesejahteraan dan kemakmuran bersama bukan sebaliknya. Usaha untuk memanfaatkan iptek tersebut menuntut pengembangan semangat kebenaran, keadilan , kmanusiaan dan kedamaian. Semua hal tersebut dilaksanakan sepanjang hayat, seiring perjalanan hidup manusia dan keluasan iptek. Sehingga, berbarengan dengan keteguhan iman-tauhid, manusia dapat menempatkan diri pada derajat yang tinggi

BAB III
PENUTUP
Itulah Nilai Dasar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang dipergunakan sebagai landasan teologis normatif, etis dan motivatif dalam pola pikir, pola sikap dan pola perilaku warga PMII, baik secara perorangan maupun bersama-sama dan kelembagaan. Rumusan tersebut harus selalu dikaji dan dipahami secara mendalam, dihayati secara utuh dan terpadu, dipegang secara teguh dan dilaksanakan secara bijaksana.
Dengan Nilai Dasar Pergerakan tersebut dituju pribadi muslim yang berbudi luhur , berilmu, bertaqwa, cakap dan bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmu pengetahuannya, yaitu sosok ulul albab Indonesia yang sadar akan kedudukan dan peranannya sebagai khalifah Allah di bumi dalam jaman yang selalu berubah dan berkembang , beradab, manusiwi, adil penuh rahmat dan berketuhanan.
Read More..

Sejarah FAKULTAS HUMANIORA DAN BUDAYA

Fakultas Humaniora dan Budaya adalah salah satu fakultas yang berada di bawah payung Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang yang pendiriannya berdasarkan Surat Keputusan Presiden No 50 tanggal 21 Juni 2004. Bermula dari sebuah Fakultas Tarbiyah, cabang IAIN Sunan Ampel Surabaya yang berdiri pada 1961, lembaga ini beralih status menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Malang pada pertengahan 1997, bersamaan dengan beralihnya status kelembagaan semua fakultas cabang....

di lingkungan IAIN se-Indonesia yang berjumlah 33 buah melalui Surat Keputusan Presiden No. 11 Tahun 1997. Dengan demikian, sejak saat itu pula STAIN Malang lepas dari IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Sejalan dengan perubahan Universitas, Fakultas Humaniora dan Budaya yang cikal bakalnya adalah Fakultas Sastra yang didirikan berdasarkan Surat Keputusan Dirjend Binbaga Islam Nomor: E/107/1998 tanggal 13 Mei 1998, juga bermula dari jurusan Pendidikan Bahasa Arab dan Tadris Bahasa Inggris yang ada di bawah Fakultas Tarbiyah . Dan pada saat itu Universitas Islam Negeri Malang masih berstatus Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), Jurusan Pendidikan Bahasa Arab dikembangkan menjadi Program Studi Bahasa dan Sastra Arab, sedangkan Tadris Bahasa Inggris berkembang menjadi Program Studi Bahasa Dan Sastra Inggris.
Ketika Universitas ini beralih nama menjadi Universitas Islam Indonesia-Sudan (UIIS) sebagai implementasi kerjasama antara pemerintah Indonesia dan Sudan dan diresmikan oleh Wakil Presiden RI H. Hamzah Haz pada 21 Juli 2002, maka dikembangkanglah Fakultas Sastra, yang di dalamnya ada dua jurusan, yaitu Jurusan Bahasa dan sastra Arab dan Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris. Dan fakultas Sastra inilah yang menjadi cikal bakal dari Fakultas Humaniora dan Budaya yang penyelenggaraannya didasarkan pada SK DIKNAS Nomor: 811/D/T/2003 pada tanggal 16 April 2003.
Secara kelembagaan, sampai saat ini tahun 2007, Fakultas Humaniora dan Budaya ini memiliki 3 (tiga) Jurusan, yaitu pertama Jurusan Bahasa dan Sastra Arab, kedua Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris serta ketiga jurusan Pendidikan Bahasa Arab. Dan ditahun itu pula, jurusan bahasa dan Sastra Inggris terakreditasi A (unggul) dan jurusan bahasa dan sastra Arab terakreditasi A (unggul) dari BAN Akreditasi Departemen Pendidikan Nasional Jakarta.
Ciri khusus yang diharapkan oleh Universitas ini sebagai implikasi dari model pengembangan keilmuannya adalah keharusan bagi seluruh anggota sivitas akademika menguasai bahasa Arab dan bahasa Inggris. Melalui bahasa Arab, diharapkan mereka mampu melakukan kajian Islam melalui sumber aslinya yaitu al-Qur’an dan al-Hadis dan melalui bahasa Inggris mereka diharapkan mampu mengkaji ilmu-ilmu umum dan modern, selain sebagai piranti komunikasi global. Karena itu pula, Universitas ini disebut bilingual university. Diharapkan Fakultas Humaniora dan Budaya bisa menjadi pioner dalam merealisasikan ini. Untuk mencapai maksud tersebut, dikembangkan ma’had atau pesantren kampus di mana seluruh mahasiswa termasuk mahasiswa Fakultas Humaniora dan Budaya tahun pertama harus tinggal di ma’had. Karena itu, pendidikan di Universitas ini merupakan sintesis antara tradisi universitas dan ma’had atau pesantren. Melalui model pendidikan semacam itu, diharapkan akan lahir lulusan yang berpredikat ulama yang intelek profesional dan atau intelek profesional yang ulama. Ciri utama sosok lulusan demikian adalah tidak saja menguasai disiplin ilmu masing-masing sesuai pilihannya, tetapi juga menguasai al-Qur’an dan al-Hadis sebagai sumber utama ajaran Islam.
Fakultas ini terletak di Jalan Gajayana 50, Dinoyo Malang di antara Fakultas-fakultas lain yang berada dalam naungan Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang dengan lahan seluas 14 hektar, Sejak September 2005 Fakultas Humaniora dan Budaya melakukan mordernisasi diri secara fisik dengan membangun gedung rektorat, fakultas, kantor administrasi, perkuliahan, laboratorium, kemahasiswaan, pelatihan, olah raga, business center, poliklinik dan tentu masjid dan ma’had yang sudah lebih dulu ada, dengan pendanaan dari Islamic Development Bank (IDB) melalui Surat Persetujuan IDB No. 41/IND/1287 tanggal 17 Agustus 2004.
Dengan performansi fisik yang megah dan modern serta tekad, semangat dan komitmen yang kuat dari seluruh anggota sivitas akademika seraya memohon ridha dan petunjuk Allah swt, Fakultas Humaniora dan Budaya bisa mendukung terwujudnya cita-cita Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang untuk menjadi center of excellence dan center of Islamic civilization sekaligus mengimplementasikan ajaran Islam sebagai rahmat bagi semesta alam (al Islam rahmat li al-alamin).
Read More..