Sabtu, 26 Maret 2011

Memahami “Kembali” Agama (Sebuah usaha mencapai cita-cita bersama)

Oleh Abdur Rahim*
“Dan barangsiapa menganut Dîn selain Islam, maka sekali-kali ia tidak akan diterima daripadanya dan ia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Ali Imran 85).
"Sesunggunya agama disisi Allah Adalah Islam".(Ali Imran: 19)


Berbicara masalah agama berarti berbicara tentang masa lalu, sekarang, dan akan datang. Atau dengan kata lain, agama merupakan salah sau faktor penentu sejarah peradaban manusia. Isu tentang agama akan terus dan selalu hangat untuk dibicarakan, mengingat manusia tidak bisa dipisahkan dari agama. Henri Bergson mengatakan "There has never been a society without religion" (tidak ada masyarakat tanpa agama). Dipertegas lagi oleh Raymond Firth yang menyatakan bahwa "Religion is universal in human societies", agama adalah universal dalam masyarakat manusia.
Agama adalah sebuah fenomena yang dekat dalam kehidupan individu dan masyarakat. Demikian dekatnya, sehingga agama menjadi perangkat dalam seluruh ritual kehidupan kita. Begitu juga dengan para ilmuan, mereka tidak penah ketinggalan dalam mengomentari agama. Mulai dari ilmuan saintis hingga ilmuan lainnya, seperti psikolog, sosiolog, politik bahkan seniman. Berbagai perspektif tentang agama pun mulai bermunculan. Mulai dari perspektif yang fundamen-radikal sampai pada perspektif liberal-rasional. Makna agama yang dihasilkan dari cara pandang demikian kemudian menghasilkan karakter (baca: sikap) beragama. Karakter untuk terbuka maupun karakter tertutup terhadap cara pandang lain.

Untuk memenuhi universalitas dari sebuah agama (Islam), perlu kiranya pemahaman yang komprehensif dan dapat mewakili konsepsi universalitas agama menjadi sebuah sikap awal bagi umat beragama (Muslim).

Memahami al-Din (Agama)
Din berasal dari bahasa Arab dan dalam Al-quran disebutkan sebanyak 92 kali. Secara etimologi, din diartikan sebagai “balasan” dan “ketaatan”. Dalam arti balasan, Al-quran menyebutkan kata din dalam surat Al-Fatihah ayat 4, Maliki Yaumiddin (Dialah Pemilik (Raja) Hari Pembalasan). Demikian pula dalam sebuah hadis, din diartikan sebagai ketaatan. Rasulullah Saw bersabda Ad-diinu nashiihah (agama adalah ketaatan). Sedangkan menurut terminologi teologi, din diartikan sebagai sekumpulan keyakinan, hukum, norma yang akan mengantarkan seseorang kepada kebahagiaan manusia, baik di dunia maupun akhirat.
Berdasarkan hal di atas, din mencakup tiga dimensi, yaitu (1) keyakinan (akidah); (2) hukum (syariat); dan (3) norma (akhlak). Ketiga dimensi tersebut dikemas sedemikian rupa sehingga satu sama lainnya saling berkaitan, dan tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Dengan menjalankan din, kebahagiaan, kedamaian, dan ketenangan akan teraih di dunia dan di akhirat.
Seseorang dapat dikatakan mutadayyin (ber-din dengan baik), jika dia dapat melengkapi dirinya dengan tiga dimensi agama tersebut secara proporsional, maka dia pasti berbahagia.
Dalam dimensi keyakinan atau akidah, seseorang harus meyakini dan mengimani beberapa perkara dengan kokoh dan kuat, sehingga keyakinannya tersebut tidak dapat digoyahkan lagi. Keyakinan seperti itu akan diperoleh seseorang dengan argumentasi (dalil aqli) yang dapat dipertahankan. Keyakinan ini pada intinya berkisar kepada Allah dan Hari Akhirat.
Adapun syariat adalah konsekuensi logis dan praktis dari keyakinan. Mengamalkan syariat merupakan representasi dari keyakinan. Sehingga sulit dipercaya jika seseorang mengaku beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, tetapi tidak mengindahkan syariat-Nya. Karena syariat merupakan kewajiban dan larangan yang datang dari-Nya.
Sedangkan akhlak adalah tuntunan akal budi (aqal amali) yang mendorong seseorang untuk mengindahkan norma-norma dan meninggalkan keburukan-keburukan. Seseorang belum bisa dikatakan mutadayyin selagi tidak berakhlak, la diina liman la akhlaqa lahu. Demikian pula, keliru sekali jika seseorang terlalu mementingkan akhlak daripada syariat.
Dari ketiga dimensi din tersebut, akidah menduduki posisi yang paling prinsip dan menentukan. Dalam pengertian bahwa yang menentukan seseorang itu mutadayyin atau tidak adalah akidahnya. Dengan kata lain, yang memisahkan seseorang yang beragama dari yang tidak beragama (ateis) adalah akidahnya. Lebih khusus lagi, bahwa akidahlah yang menjadikan orang itu disebut Muslim, Kristiani, Yahudi atau yang lainnya.
Kaitannya dengan itu, maka –menurut penulis- agama harus difahami tidak hanya sebatas religiusitas (keyakinan), melainkan agama harus defahami sebagai ilmu, moral dan social system dalam berkehidupan.
Pertama, agama sebagai religiusitas adalah ber-akidah dalam beragama. Artinya, sudah menjadi sebuah keharusan bagi seluruh umat beragama. Keharusan yang sesuai dengan “pilihan” untuk beragama. Pemahaman yang seperti ini seharusnya sudah final dan sifatnya sangat privacy bagi setiap manusia. Inilah yang disebut dengan agama mempunyai dimensi esoteric yang “seharusnya” tidak bisa diganggu gugat.
Kedua, agama sebagai ilmu seharusnya menjadi motivasi tersendiri bagi seseorang dalam mencari makna kehidupan (baca: ilmu dan pengetahuan). Artinya, konsepsi seperti ini, juga membuat seseorang menemukan sendiri bekal ataupun jalan untuk mencapai tujuan akhir dalam sebuah kehidupan (surga).
Ketiga, agama sebagai moral dan system sosial. Manusia sebagai masyarakat sosial (zoon politicon) tentunya membutuhkan tata-cara atau mekanisme berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Artinya, manusia membutuhkan perilaku-perilaku yang “disepakati” dalam berkehidupan. Baik kesepakatan yang dihasilkan secara komunal (kelompok) atau global (keseluruhan). Mekanisme berperilaku yang berangkat dari doktrin-doktrin agama maupun dari lingkungan sosial. Pemahaman yang seperti ini kemudian mewakili dimensi eksoterik (syariat-muamalah) dalam sendi-sendi kehidupan. Pemahaman seperti ini –khususnya yang terakhir- yang kemudian membuat seseorang dapat berintraksi dengan sangat terbuka.
Kaitannya dengan cita-cita bangsa adalah bahwa proses mewujudkan “Bhineka Tunggal Ika” dengan mekanisme demokrasi dan pluralisme banyak persoalan yang sampai sekarang belum menemukan titik temu. Artinya, banyak ketidaksepakatan yang muncul karena doktrin agama. Misalnya, ke-alergi-an beberapa umat agama (muslim) terhadap kelompok lain bahkan terhadap agama lain, sehingga menyebabkan kekerasan dan semacamnya yang kemudian menghambaat proses “ke-Bhineka Tunggal Ika-an” tersebut.
Akhirnya, semoga pemahaman yang komprehensif (universal) tidak hanya sebatas pemahaman yang memunculkan kesadaran magis dan kesadaran naïf bagi kita semua, tetapi juga dapat memunculkan kesadaran kritis yang kemudian menjadi sikap dan karakter dalam relasi-interpersonal agar dapat bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama.



*Kader PMII Rayon “Perjuangan” Ibnu Aqil UIN Malang dan Alumni Ponpes Syarifuddin Wonorejo Lumajang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar