Senin, 26 Januari 2015

Perlukah PMII kembali ke dalam naungan NU?

PMII adalah organisasi yang dilahirkan dari tubuh NU. Dari tinjauan ulang sejarah, para mahasiswa NU pada waktu itu ingin mendirikan suatu organisasi khusus di level mahasiswa karena pada saat itu yang ada hanyalah IPNU yang notabenenya adalah untuk pelajar. Sedangkan mahasiswa sebagai pribadi yang bebas, kritis dan penuh gejolak semangat di rasa tidak bisa berada dalam lingkup IPNU, mereka membutuhkan ruang gerak tersendiri. Akhirnya pada akhir tahun 1955 dibentuklah Ikatan Mahasiswa NU (IMANU) yang diprakarsai oleh beberapa pimpinan pusat dari Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Namun tak lama berselang, PBNU segera membubarkannya karena mempertimbangkan efektifitas kerja dan waktu.
IPNU kemudian mengadakan Konferensi Besar di Kaliurang pada tanggal 14-16 Maret 1960. Dalam konferensi ini dirumuskan pendirian suatu organisasi mahasiswa yang terlepas dari IPNU baik secara struktural maupun administratif yang kemudian dikristalkan dengan nama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan dikukuhkan dalam dokumen lahir yang dibuat di Surabaya. Tepatnya di Taman Pendidikan Khodijah pada tanggal 17 April 1960.
PMII yang pada waktu itu masih terikat dengan NU bergerak dengan politik praktis karena berada di bawah naungan NU. PMII sebagai organisasi mahasiswa tidak bisa bergerak bebas karena harus senantiasa mendukung dan menyokong tindak tanduk NU yang pada waktu itu masih menjadi organisasi politik. Hal itu dianggap merugikan PMII karena membatasi pergerakannya.
Kondisi ini menuntuk PMII untuk mengkaji ulang arah geraknya, khususnya dalam bidang politik praktis. Sehingga pada tanggal 14-16 Juli 1972 PMII mengadakan Musyawarah Besar yang melahirkan deklarasi Independen di Murnajati, Lawang, Jawa Timur, kemudian dikenal dengan “Deklarasi Murnajati”.
Dan kini NU menuntuk PMII untuk kembali manjadi Badan Otonom (Banom) NU dikarenakan NU sudah tidak menjadi organisasi politik lagi sejakmuktamar ke-27 di Situbondo pada tahun 1984, dibawah kepemimpinan K.H Abdurahman Wahid (Gus Dur) NU menyatakan sikap “kembali ke khittah 1926” NU meletakkan organisasi politik dan kembali menjadi organisasi sosial keagamaan.
Sebenarnya tuntutan untuk kembali ke tubuh NU lagi tidak hanya sekali ini dilakukan oleh NU, sebelumnya pada maret 2011 lalu Pengurus Besar NU juga pernah menuntut PMII untuk kembalik lagi ke dalam badan NU. Kini tuntutan itu kembali diajukan pada Sidang Komisi Organisasi Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdatul Ulama (Munas-Konbes NU) pada Sabtu, 1 November 2014 lalu. PBNU dan seluruh perwakilan wilayah NU dari seluruh Indonesia telah sepakat memberikan tenggat waktu kepada PMII hingga menjelang Muktamar NU 2015 nanti. Jika tak ada sikap dari PMII maka PBNU memutuskan akan membuat organisasi kemahasiswaan baru di bawah naungan NU.
Mengapa PMII harus kembali menjadi Banom NU?
            Ada beberpa alasan kuat terkait harus kembalinya PMII menjadi banom NU.
Pertama, alasan PMII untuk melepaskan diri dan mendeklarasikan independen dengan deklarasi Murnajati adalah karena pada waktu itu NU bukanlah organisasi sosial keagamaan namun organisasi politik. Sedangkan sejak tahun 1984 NU sudah memutuskan untuk kembali ke khitta 1926 dan menjadi organisasi sosial keagamaan lagi sehingga alasan PMII keluar dari banom NU karena NU adalah organisasi politik sudah tidak bisa berlaku lagi.
Kedua, PMII dan NU sama-sama memilki komitmen menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di era reformasi ini kebebasan sudah bisa dirasakan oleh semua elemen masyarakat Indonesia. Saat ini bersikap demokratis transformatif adalah pilihan yang benar, memperbaiki sistem dari dalam adalah cara yang harus diambil PMII  untuk mendorong agenda kesejahteraan. Oleh karena itu akan lebih mudah bagi PMII jika kembali ke dalam naungan NU lagi.
Ketiga, Saat ini banyak sekali organisasi baru muncul dengan berbagai slogan dan ideologinya. Tak jarang juga pergerakan organisasi itu mengancam keutuhan NKRI. PMII dan NU yang sudah final mengatakan Pancasila dan NKRI harga mati harus bisa menghalau berbagai ancaman yang menerpa. PMII dan NU yang sama-sama berlandaskan ASWAJA dan sama-sama organisasi besar harus bekerja sama dan menjadi satu untuk tetap memperjuangkan bangsa. Karena jika PMII dan NU berjalan sendiri-sendiri maka kekuatan besar tersebut akan terbelah menjadi dua.
Independensi PMII
            Wacana tentang tuntutan NU untuk menjadikan PMII menjadi Banom masih menuai pro dan kontra. Beberapa alasan tentang patutnya PMII kembali ke dalam tubuh NU sudah dipaparkan dalam penjelasan di atas. Namun ada juga beberapa alasan dari kader-kader PMII yang menolak kembalinya PMII ke dalam tubuh NU.
            Independensi bukan hanya soal lepasnya PMII dari tubuh NU, tapi juga soal kebebasan PMII dalam segala geraknya. PMII tidak bisa berada di bawah naungan NU karena sebagai organisasi mahasiswa yang bebas, PMII akan terkungkung karena di saat menghadapi berbagai permasalahan harus memperhatikan kepentingan induknya. Mahasiswa sebagai insan akademis harus menentukan sikap secara objektif dan tidak bisa subjektif terarah pada NU.
            Dan untuk mengembangkan ideologinya PMII jadi dapat memperjuangkannya sendiri, dengan perubahan AD/ART yang tidak lagi dibatasi secara formal oleh madzab yang empat. PMII dapat lebih leluasa mengembangkan sayap di berbagai perguruan tinggi umum ataupun perguruan tinggi agama karena sifat ke-netralannya.
            Sikap independensi juga bukan berarti PMII keluar dari faham ahlussunah wal jama’ah (Aswaja). Keterpisahan antara PMII dan NU hanya nampak pada organisatoris formal saja. Pada dasarnya kader PMII juga merupakan kader muda NU. Sebab kenyataanya, keterpautan moral, kesamaan background, pada keduanya sulit untuk direnggangkan.
            PMII adalah organisasi kemahasiswaan, mahasiswa adalah insan yang mempunyai cara pandang yang unik dan berbeda. Sehingga tidak mungkin memilik cara pandang yang sama dengan para golongan tua dalam menyikapi suatu masalah. Jika kembali ke NU, pergerakan PMII akan sangat terbatas sehingga tugas utama kader sebagai Agent of Change tak akan terpenuhi secara semestinya. Terutama dalam konteks mengkritisi pemerintah dan isu-isu politik lainnya. Sebab, sebelum mengambil keputusan, PMII harus terlebih dahulu meminta persetujuan dan pendapat para kiyai-kiyai PBNU.
            Melihat dari berbagai aspek pro kontra tersebut. Keputusan untuk kembali atau tidaknya PMII ke dalam badan NU harus di pertimbangkan matang-matang oleh Pengurus Besar PMII dengan persetujuan dan pendapat seluruh kader PMII di Indonesia.
Sandra Damar Siswanti,Ketua Angkatan 2014, Al-Murtadlo. Kader PMII Rayon “Perjuangan” Ibnu Aqil. Malang 26 Januari 2015. 12:37 di Ma’had Sunan Ampel Al-Aly mabna Ummu Salamah lantai 4 kamar 51. Ditemani sunyi yang menuntut dan deru derau rendah riak air di sungai belakang mabna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar